Senin, 25 Januari 2010

Telekung Untuk Tek Nita
















Di ruang kurang lebih 2 x 4 meter persegi itu dia duduk tekun menyelesaikan pekerjaan jahit menjahitnya. Sekeliling kamar itu penuh dengan properti yang dicintainya, ada televisi bewarna 17 inci, sebuah kipas angin merah jambu, sebuah kasur busa tipis bergambar teletabis, segerombolan boneka teletabis dan sebuah lukisan juga tentang teletabis; ‘cointainer’ baju warna warni, tak ketinggalan selimut flanel hijau pupus. Di samping itu juga terlihat beberapa buah kayu berlubang-lubang untuk permainan coklat, sederetan botol kaca dan plastik warna-warni sebagian berisi biji-bijian congklak plastik ataupun kerang-kerang laut kecil yang dipakai juga sebagai bijian untuk permainan congklat. Juga ada permainan anak-anak lain seperti ludo dan ular tangga tentu tak ketinggalan dadu dan bijian untuk permainan tersebut. Kalau diperhatikan kamar ini lebih pas untuk kamar anak TK daripada seorang wanita berusia 42 tahun. “wow ^-^ jangan bengong dulu dong”. Yah sebenarnya dia memang berumur 42 tahun, tapi gadis ini ‘tek Nita’ masih tetap terlihat muda sekali karena dia memang terlahir sebagai penderita ‘sindrom down’.

Sindrom down adalah (Bahasa Inggris : down syndrome) merupakan kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid. Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali syndrome ini dengan istilah sindrom down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama. Sindrom down merupakan kelainan kromosom yakni terbentuknya kromosom 21 (trisomy 21). Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya sindrom down. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlah kromosom 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3.

Tek Nita adik dan tante kami paling kecil ini memang dilahirkan ketika ande (ibu) telah berumur lanjut yaitu 43 tahun. Barangkali usia lanjut dan stres maha berat yang menimpa ande saat itu, yaitu kematian ayah di rantau menjadi penyebab ketidaknormalan tek Nita. Seingat saya tek Nita baru pandai berjalan saat dia berusia 4 tahun, sebelumnya dia hanya berguling-gulingan saja di lantai papan rumah kami yang cukup panjang. Bicaranya mulai agak jelas ketika berumur 7tahun, itu pun setelah ande membawanya berobat kepada seorang dokter di kota Solok (ibukota Kodya Solok, Sumatera Barat). Kalau tidak salah dokter itu bernama dr Ginting, dia seorang dokter bertangan dingin yang cukup laris saat itu. Mudah-mudahan Allah memberinya keberkahan, karena dia dokter yang baik dan mau tahu kondisi pasiennya tidak seperti kebanyakan dokter yang sangat komersil masa ini. Maklumlah kondisi keuangan kami yang senin kamis tak memungkinkan kami membawanya terapi agar keterlambatan perkembangannya bisa sedikit ditingkatkan. Ilmu pengetahuan yang belum berkembang juga penyebab lain mengapa keluarga bersikap pasrah saja atas keterlambatan perkembangannya.

Seperti umumnya penderita sindrom down yang lain, tubuh tek Nita bisa dikatakan lentur, kakinya bisa dilipat di belakang punggungnya, atau tidur telungkup dengan kaki dilipat menjadi bantalan tidur. Dulu sewaktu para ponakannya masih kecil-kecil pertunjukan kelenturan badannya ini cukup menghibur mereka kalau berkumpul hari Minggu di rumah ande di Jakarta Pusat. Pertumbuhan giginya tidak normal, di rahangnya yang kecil tumbuh geligi yang berdempetan dan tentu menimbulkan bau nafas kurang sedap karena tek Nita malas gosok gigi, sehingga kami sering memanggilnya bophal kalau dia mulai meniupkan nafasnya bila sedang marah karena digoda. Bophal adalah sebuah wilayah di India yang sekitar tahun 1980an mengeluarkan gas beracun berbau busuk, sehingga banyak penduduknya saat itu tewas. Tapi tek Nita tahu juga berita itu makanya kalau kesal dia sengaja meniupkan nafasnya pada kita. Tapi semenjak berumur 35an nafas tek Nita tidak lagi bau karena giginya satu persatu rontok, dan 4 tahun belakangan sudah ompong semua.

Walupun secara fisik dan perkembangan intelektual terbelakang, namun pertumbuhan seksualitasnya normal. Tek Nita usia 12tahun juga telah menstruasi dan sekarang sepertinya sudah menoupouse. Perkembangan emosinya sebagian masih seperti anak kecil tapi untuk hal – hal yang menyentuh perasaan sama pada umumnya dengan orang seusia dia. Tek Nita mengerti posisinya sebagai anak, adik, ponakan atau tante. Dia akan marah bila ponakan yang walaupun seumur dengan dia memperlakukannya kurang sopan. Tapi sikap kekanak-kanakannya juga muncul bila “cucu” (anak-anak keponakannya) yang masih kecil masuk ke kamarnya, tek Nita kadang menangis keras karena takut mainanannya diganggu sang cucu. Sikap sangat manja juga muncul bila berada dekat ande. Tek Nita tak akan mau mengerjakan apapun padahal bila hanya tinggal dengan kami saja dia bisa melakukannya. Barangkali sikap manjanya ini disebabkan ande memang selalu ingin menolongnya karena memandangnya sebagai “anak yang tak berdaya”.

Dulu sebelum kuliah di Psikologi saya pikir keadaan tek Nita memang demikian tidak bisa diperbaiki. Sebenarnya sampai SMA saya cukup minder mempunyai adik seperti dia. Tapi siapanyana tek Nitalah yang menjadi inspirasi saya sehingga saya mampu diterima di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Walau terlambat, pengetahuan yang diterima di bangku kuliah cukup membantu untuk memahami kondisi yang dialaminya. Bukan dalam rangka “ngeles” lagi – lagi kemampuan ekonomi jugalah yang membuat kami sekeluarga tidak bisa memberikan hal yang lebih baik untuk tek Nita. Biarpun pernah disekolahkan di SLB C, tapi karena usianya yang sudah jauh di atas anak-anak lain tentu daya serapnya untuk ketrampilan yang diajarkan di Sekolah kurang dibandingkan anak lain yang telah mulai belajar di usia yang lebih dini. Tapi hal ini tak akan saya sesali terus menerus karena saya yakin Allah pasti selalu melindungi hambanya. Buktinya para keponakannya yang berjumlah puluhan sangat menyayanginya, apalagi semenjak mereka sudah mempunyai penghasilan sendiri. Sejumlah permainan yang ada di kamarnya adalah pemberiaan dari para keponakannya itu. Kamar yang saya maksud di sini tidak berada di satu rumah. Tek Nita selalu berpindah mengikuti ande. Jadi dimanapun ande tinggal, sebisanya disediakan kamar khusus untuk mereka berdua karena kemanapun pergi yang namanya barang-barangnya itu (bisa memenuhi bangku belakang mobil kijang) ikut bersamanya.

Dengan tingkat intelektual yang dimiliki ( dengan IQ berkisar 35 – 55 skala WB) sebenarnya tek Nita mampu mengerjakan semua ketrampilan setingkat anak kelas III SD. Dia bisa diajarkan untuk menghafal nama-nama dan ciri-ciri fasilitas umum, menolong diri sendiri, mengerjakan hal – hal sederhana seperti mencuci baju, piring, menjahit yang sederhana dan lain sebagainya. Sebenarnya memasak masakan sederhanapun tek Nita mampu. Tapi kendalanya ketrampilan ini jarang muncul karena dia bisa mengandalkan ande untuk membantunya melakukan hal tersebut.

Suatu hari melihat tek Nita selalu menjahit celana roknya yang mulai kelonggaran saya teringat suatu informasi yang pernah saya baca pada satu jurnal psikologi eksperimen yang menyatakan bahwa penderita sindrom down mempunyai kelemahan hanya pada memori jangka pendek (short term memory/STM) bukan pada memori jangka panjangnya (long term memory/LTM). Mereka kesulitan dalam mencerna informasi yang diterima panca indra bila informasi itu hanya selintas saja (dalam arti tidak diulang-ulang). Akan tetapi apabila informasi tersebut telah berhasil mereka cerap dan masuk ke LTM hal itu akan selalu tersimpan mantap dan mudah bagi mereka untuk mengggali kembali bila diperlukan. Buktinya tek Nita tak pernah lupa nama-nama orang yang pernah akrab dengannya walaupun bertahun-tahun tidak bersua dengannya. Bahkan tampak daya ingat jangka panjangnya lebih baik daripada kita-kita yang dianggap normal. Penderita sindrom down membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menyerap informasi yang diterima panca indranya sampai informasi masuk ke STM dan kemudian disimpan dalam LTMnya. Oleh karena itu sistem pengajaran repetisi (diulang-ulang) lebih cocok untuk mengajarkan ketrampilan pada tek Nita.

Terilhami oleh bacaan itu dan dia juga sering mengatakan ingin shalat bila melihat saya shalat maka saya berinisiatif menjahitkan sehelai telekung (mukena) untuk tek Nita . Setelah selesai dijahit bagian depan telekungnya saya lukiskan gambar bunga sederhana. Kemudian saya suruh tek Nita membordir gambar bunga itu seperti yang selalu dilakukan pada rok celananya. Subahanallah wallahuAkbar sesuatu yang tidak saya sangka-sangka terjadi. Ternyata dia bisa mengembangkan imajinasinya lebih baik daripada yang saya bayangkan, dia mampu menyulam gambar itu lebih indah dengan warna yang hidup dan gambar yang penuh. Sejak itu diapun sibuk membordir telekungnya dan dalam jangka satu bulan bordirannya selesai dan terlihat cantik dengan komposisi warna cerah.

Satu hal lagi pelajaran tidak sengaja yang bisa saya ambil adalah jangan putus asa bila ada kekurangan, dibalik kekurangan itu pasti ada kelebihan yang dirahasiakan Allah sampai kita menggalinya.

Tangerang, 24 Januari 2010-01-25

Referensi : Wikipedia pada Google



Kamis, 21 Januari 2010

Nyanyian Burung Patah Sayap


Bernyanyilah dikau wahai burung-burung patah sayap

Jangan takut nista dunia fana.......................................

Siulkan nyanyian kebenaran ditengah –tengah senyap

Jangan hiraukan para durjana.......................................

Bernyanyilah dikau wahai burung-burung patah sayap

Hiburlah penduka dengan suara surga.........................

Siulkan perindumu tingkahi pekikan mereka yang kalap

Kalahkan para pendusta...............................................

Bernyanyilah dikau wahai burung-burung patah sayap

Hapuslah dosamu dikala duka........................................

Siulkan senandung indah dilamunan mimpi hamba penglelap

Ajaklah mereka agar waspada.........................................

Tangerang, 21 Januari 2010

Selasa, 19 Januari 2010

Guruku Sayang Yang Telah Hilang










ilustrasi : http:// jagatpamulang.blogspot.com dan ada juga di web lain

Kami berpelukan hangat, saling memandang. “Ah Tini aku sangka kau tadi

istrinya Wido” Tini tertawa pelan sambil berucap “apa kabar Tuti, kau

kelihatan jauh lebih kurus daripada duapuluh lima tahun yang lalu saat

kita berpisah di SMA kita”. “Ya Tin sejak tiga tahun terakhir aku

memang tambah kurus”. Lalu aku menjelaskan padanya bahwa aku terserang

penyakit degeneratif ‘diabetes melitus’, sehingga untuk pergi ke reuni

ini pun sebenarnya perlu usaha keras bagiku karena aku mudah sekali

merasa capek dan lemas.


Pertemuan dengan Tini mengingatkan aku kembali bahwa dia adalah

satu-satunya sahabat sejatiku ketika SMP. Namun persahabatan itu

terputus ketika kami sama-sama naik kelas II SMA di sekolah negeri

satu-satunya di wilayah desa kami. Wajah Tini dan postur tubuhnya tak

jauh berbeda dengan masa gadisnya, cuma kulitnya kelihatan lebih gelap

dan wajahnya itu seperti menyimpan sesuatu …


Aku bersua dengannya ketika masuk SMP Islam di desaku. Dia berasal

dari sebuah desa di kabupaten yang berjarak kurang-lebih 60km dari

desaku. Tini adalah anak kedua dari Engku Guru Wahidin. Ayahnya telah

mengabdi di desa kami sejak mudanya, mengajar banyak bidang studi

untuk tingkat SD dan SMP sekaligus. Engku Guru Wahidin seorang guru

sederhana berwajah teduh. Beliau mendidik murid-muridnya benar-benar

dengan keikhlasan yang tinggi. Kalau dihitung-hitung honor yang beliau

terima tidaklah seberapa, bahkan jauh dari cukup untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya. Tapi begitulah guru jaman itu. Semangat

pengabdian dan keinginan murid-muridnya ‘menjadi orang yang lebih

maju’ adalah spirit utamanya.


Engku guru Wahidin dikarunia Allah 4 orang anak. Anak pertamanya kak

Lastri telah tamat SMA ketika kami masuk SMP. Setelah lulus SMA

dia kembali ke desanya dan Tini menggantikan kedudukan kakaknya untuk

menemani Engku Guru. Diapun tinggal dan bersekolah di desa kami. Dua adik

Tini laki-laki. Aku tak sempat mengenali mereka karena ketika tamat

SMA mereka masih kecil-kecil.


Sewaktu SMP kami selalu bersama-sama. Kami merasa klop mungkin karena

latar belakang ekonomi kami hampir serupa. Aku anak seorang janda tua

yang biaya kehidupan ditopang kakak-kakak yang sudah bekerja.

Sementara dia anak seorang guru honorer di sebuah yayasan Islam yang

tidak besar. Ekonomi keluarganya ditunjang oleh ibunya yang giat

bertani di desanya. Kemanapun pergi kami selalu bersama begitu juga

untuk kegiatan belajar bersama diluar jam sekolah. Aku sering ke

tempat tinggalnya begitu sebaliknya. Kami sama-sama bersemangat dan

bermotivasi untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi. Karena hanya

dengan nilai yang bagus kami baru bisa diterima di sekolah negri yang

hanya satu – satunya diwilayah kami tinggal.


Persaingan untuk diterima di SMAN itu cukup ketat sebab pastilah

anak-anak desa lain yang jumlahnya sangat banyak mengincar bangku

yang sama. Berkat kerajinan dan niat yang kuat kami bersama kurang lebih

limabelas siswa SMP lainnya dari desa kami diterima di SMA itu. Kala

itu untuk mencapai SMA tersebut harus menempuh sekitar setengah

jam naik oplet tapi kendalanya adalah jumlah oplet yang hanya tidak

lebih dari tiga menyulitkan kami untuk sampai di sekolah tepat waktu.

Padahal sekolah ini menerapkan disiplin yang cukup ketat. Terlambat,

berarti harus bersedia dijemur dibawah terik matahari pagi selama

15menit. Kota dengan penghasilan utamanya dari pertambangan batu-batu

alam tersebut memiliki hawa panas sehingga bisa dibayangkan penderitaan

yang harus dialamibila kami telat datang.


Keadaan inilah yang menyebabkan aku akhirnya memutuskan indekos di

rumah famili yang ada di kota itu. Kebetulan rumah tersebut memang

disewakan untuk anak-anak SMA karena pemiliknya tinggal di ibukota

Jakarta. Daripada rusak dimakan rayap, rumah tersebut disewakan

dengan harga yang cukup terjangkau.


Awal-awal indekos banyak dukanya, kami harus memasak sendiri untuk

mengirit biaya yang memang pas-pasan. Namun pada waktu bersamaan

aku mulai merasa kehilangan keakraban dengan Tini . Tini berubah

sikap. Sekarang dia terlihat riang gembira dan jauh lebih lincah

daripada ketika di SMP dulu. Rupanya dia yang berwajah manis dan

berpostur menarik banyak disenangi teman-teman cowok dan kakak-kakak

kelas kami. Dia mulai sibuk dengan kegiatan dan pergaulan baru.

Kegiatan berpacaran jadi hobi barunya seakan-akan lupa dengan nasehat

Engku Guru Wahidin yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

Beliau sangat berharap agar prestasi kami tidak menurun setelah SMA

dan selalu menjaga martabat kewanitaan kami. Tapi usia remaja dan

popularitas membuat Tini lupa niat perjuangan awalnya. Akupun mulai

menjaga jarak karena pahamku dengannya telah berbeda. Aku bertekad

tetap sungguh-sungguh belajar karena sejak kecil aku telah berbulat

tekad harus menjadi sarjana dan lulus dari Perguruan Tinggi ternama di

Negara ini. Sehingga aku tak bersedia larut dalam pergaulan semasa

SMA.


Setelah 6 bulan indekos aku akhirnya memutuskan kembali ke desa dan

pulang pergi naik kendraan umum. Sementara Tini tetap kos disana.

Ujian kenaikan kelas akhirnya membuktikan perbedaan kami. Aku berhasil

masuk jurusan bergengsi IPA, sementara Tini harus puas dengan jurusan

IPS. Saat itu memang jumlah nilai yang menentukan jurusan belum ada

yang namanya penelusuran bakat dan minat seperti yang berlaku di

sekolah- sekolah di ibukota. Padahal dia bercita-cita menjadi seorang

Insinyur Pertanian dan dengan ilmunya kelak bisa meningkatkan

produksi bertanian di desanya yang berlahan subur.


Sejak itu aku tidak lagi bergaul rapat dengannya hanya sekedar

tersenyum atau menyapa saja yang kami lakukan. Kami sibuk dengan

teman-teman sendiri di jurusan masing-masing.


Lama sekali aku tak mendengar kabarnya. Sampai aku lulus menjadi

sarjana aku tidak tahu dimana Tini berada dan apa yang terjadi

dengannya. Barulah setelah berselang 9 tahun dan aku dikaruniai 1 orang

putra barulah kuperoleh sekelumit informasi tentang dirinya.

Kabar beritanya aku dengar dari ayahnya Engku Guru Wahidin ketika aku

menemui beliau sewaktu aku pulang kampung bersama keluarga kecilku.

Aku kaget ketika aku menemui beliau dirumah kontrakannya. Engku

kelihatan sangat tua kepalanya telah memutih oleh uban. Bahkan tak

tersisa selembarpun rambut hitam di kepalanya. Aku memberi sedikit

dari rizki yang ada padaku sebagai bukti kenangan betapa berjasanya

beliau ketika mendidik kami dulu. Tanpa nasehat-nasehat yang

ditanamkan kejiwaku rasanya tak mungkin aku menyelesaikan kuliahku,

dimana aku hanyalah sebuah noktah tak berarti dibelantaramahasiswa-

mahasiswa cerdas yang berebut menimba ilmu di PT paling tua

di negri ini. Engku Guru Wahidin berlinangan air mata ketika menerima

amplop tipis dariku. Disaat itulah beliau memberikan sobekan amplop

surat Tini yang berisinya alamatnya di satu Wilayah di Jogjakarta.


Dari beliaulah aku tahu bahwa Tini telah menikah sejak dia semester

dua di sebuah Institut Keguruan Negri di Ibukota Propinsi kami.

Sobekan alamat itu tetap kusimpan di dompetku bahkan sampai

bertahun-tahun sehingga akhirnya kami bertemu kembali pada acara

reuni SMA kami.


Pasang surut kehidupan kami telah kami lalui kami sudah sama-sama

menjelang paruh baya. Keakraban dulu yang kami rasakan lebih dari tiga

tahun telah kembali pulih. Yang menyedihkan adalah kabar dukacita

wafatnya Engku Guru Wahidin dua tahun yang lalu.

Beliau adalah seorang pendidik yang sangat didambakan pada

masa sistem pendidikan carutmarut dan penuh dengan nuansa

kemunafikan. Keikhlasannya mentransfer ilmu telah mendorong kami

berprestasi dan mengembalikan putrinya menjadi seorang ibu yang penuh

tanggungjawab terhadap keharmonisan keluarganya.


Selamat jalan Engku Guru kami tetap mengenangmu disudut hati kami yang

paling dalam.


Tangerang, 20 November 2009