Selasa, 19 Januari 2010

Guruku Sayang Yang Telah Hilang










ilustrasi : http:// jagatpamulang.blogspot.com dan ada juga di web lain

Kami berpelukan hangat, saling memandang. “Ah Tini aku sangka kau tadi

istrinya Wido” Tini tertawa pelan sambil berucap “apa kabar Tuti, kau

kelihatan jauh lebih kurus daripada duapuluh lima tahun yang lalu saat

kita berpisah di SMA kita”. “Ya Tin sejak tiga tahun terakhir aku

memang tambah kurus”. Lalu aku menjelaskan padanya bahwa aku terserang

penyakit degeneratif ‘diabetes melitus’, sehingga untuk pergi ke reuni

ini pun sebenarnya perlu usaha keras bagiku karena aku mudah sekali

merasa capek dan lemas.


Pertemuan dengan Tini mengingatkan aku kembali bahwa dia adalah

satu-satunya sahabat sejatiku ketika SMP. Namun persahabatan itu

terputus ketika kami sama-sama naik kelas II SMA di sekolah negeri

satu-satunya di wilayah desa kami. Wajah Tini dan postur tubuhnya tak

jauh berbeda dengan masa gadisnya, cuma kulitnya kelihatan lebih gelap

dan wajahnya itu seperti menyimpan sesuatu …


Aku bersua dengannya ketika masuk SMP Islam di desaku. Dia berasal

dari sebuah desa di kabupaten yang berjarak kurang-lebih 60km dari

desaku. Tini adalah anak kedua dari Engku Guru Wahidin. Ayahnya telah

mengabdi di desa kami sejak mudanya, mengajar banyak bidang studi

untuk tingkat SD dan SMP sekaligus. Engku Guru Wahidin seorang guru

sederhana berwajah teduh. Beliau mendidik murid-muridnya benar-benar

dengan keikhlasan yang tinggi. Kalau dihitung-hitung honor yang beliau

terima tidaklah seberapa, bahkan jauh dari cukup untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya. Tapi begitulah guru jaman itu. Semangat

pengabdian dan keinginan murid-muridnya ‘menjadi orang yang lebih

maju’ adalah spirit utamanya.


Engku guru Wahidin dikarunia Allah 4 orang anak. Anak pertamanya kak

Lastri telah tamat SMA ketika kami masuk SMP. Setelah lulus SMA

dia kembali ke desanya dan Tini menggantikan kedudukan kakaknya untuk

menemani Engku Guru. Diapun tinggal dan bersekolah di desa kami. Dua adik

Tini laki-laki. Aku tak sempat mengenali mereka karena ketika tamat

SMA mereka masih kecil-kecil.


Sewaktu SMP kami selalu bersama-sama. Kami merasa klop mungkin karena

latar belakang ekonomi kami hampir serupa. Aku anak seorang janda tua

yang biaya kehidupan ditopang kakak-kakak yang sudah bekerja.

Sementara dia anak seorang guru honorer di sebuah yayasan Islam yang

tidak besar. Ekonomi keluarganya ditunjang oleh ibunya yang giat

bertani di desanya. Kemanapun pergi kami selalu bersama begitu juga

untuk kegiatan belajar bersama diluar jam sekolah. Aku sering ke

tempat tinggalnya begitu sebaliknya. Kami sama-sama bersemangat dan

bermotivasi untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi. Karena hanya

dengan nilai yang bagus kami baru bisa diterima di sekolah negri yang

hanya satu – satunya diwilayah kami tinggal.


Persaingan untuk diterima di SMAN itu cukup ketat sebab pastilah

anak-anak desa lain yang jumlahnya sangat banyak mengincar bangku

yang sama. Berkat kerajinan dan niat yang kuat kami bersama kurang lebih

limabelas siswa SMP lainnya dari desa kami diterima di SMA itu. Kala

itu untuk mencapai SMA tersebut harus menempuh sekitar setengah

jam naik oplet tapi kendalanya adalah jumlah oplet yang hanya tidak

lebih dari tiga menyulitkan kami untuk sampai di sekolah tepat waktu.

Padahal sekolah ini menerapkan disiplin yang cukup ketat. Terlambat,

berarti harus bersedia dijemur dibawah terik matahari pagi selama

15menit. Kota dengan penghasilan utamanya dari pertambangan batu-batu

alam tersebut memiliki hawa panas sehingga bisa dibayangkan penderitaan

yang harus dialamibila kami telat datang.


Keadaan inilah yang menyebabkan aku akhirnya memutuskan indekos di

rumah famili yang ada di kota itu. Kebetulan rumah tersebut memang

disewakan untuk anak-anak SMA karena pemiliknya tinggal di ibukota

Jakarta. Daripada rusak dimakan rayap, rumah tersebut disewakan

dengan harga yang cukup terjangkau.


Awal-awal indekos banyak dukanya, kami harus memasak sendiri untuk

mengirit biaya yang memang pas-pasan. Namun pada waktu bersamaan

aku mulai merasa kehilangan keakraban dengan Tini . Tini berubah

sikap. Sekarang dia terlihat riang gembira dan jauh lebih lincah

daripada ketika di SMP dulu. Rupanya dia yang berwajah manis dan

berpostur menarik banyak disenangi teman-teman cowok dan kakak-kakak

kelas kami. Dia mulai sibuk dengan kegiatan dan pergaulan baru.

Kegiatan berpacaran jadi hobi barunya seakan-akan lupa dengan nasehat

Engku Guru Wahidin yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

Beliau sangat berharap agar prestasi kami tidak menurun setelah SMA

dan selalu menjaga martabat kewanitaan kami. Tapi usia remaja dan

popularitas membuat Tini lupa niat perjuangan awalnya. Akupun mulai

menjaga jarak karena pahamku dengannya telah berbeda. Aku bertekad

tetap sungguh-sungguh belajar karena sejak kecil aku telah berbulat

tekad harus menjadi sarjana dan lulus dari Perguruan Tinggi ternama di

Negara ini. Sehingga aku tak bersedia larut dalam pergaulan semasa

SMA.


Setelah 6 bulan indekos aku akhirnya memutuskan kembali ke desa dan

pulang pergi naik kendraan umum. Sementara Tini tetap kos disana.

Ujian kenaikan kelas akhirnya membuktikan perbedaan kami. Aku berhasil

masuk jurusan bergengsi IPA, sementara Tini harus puas dengan jurusan

IPS. Saat itu memang jumlah nilai yang menentukan jurusan belum ada

yang namanya penelusuran bakat dan minat seperti yang berlaku di

sekolah- sekolah di ibukota. Padahal dia bercita-cita menjadi seorang

Insinyur Pertanian dan dengan ilmunya kelak bisa meningkatkan

produksi bertanian di desanya yang berlahan subur.


Sejak itu aku tidak lagi bergaul rapat dengannya hanya sekedar

tersenyum atau menyapa saja yang kami lakukan. Kami sibuk dengan

teman-teman sendiri di jurusan masing-masing.


Lama sekali aku tak mendengar kabarnya. Sampai aku lulus menjadi

sarjana aku tidak tahu dimana Tini berada dan apa yang terjadi

dengannya. Barulah setelah berselang 9 tahun dan aku dikaruniai 1 orang

putra barulah kuperoleh sekelumit informasi tentang dirinya.

Kabar beritanya aku dengar dari ayahnya Engku Guru Wahidin ketika aku

menemui beliau sewaktu aku pulang kampung bersama keluarga kecilku.

Aku kaget ketika aku menemui beliau dirumah kontrakannya. Engku

kelihatan sangat tua kepalanya telah memutih oleh uban. Bahkan tak

tersisa selembarpun rambut hitam di kepalanya. Aku memberi sedikit

dari rizki yang ada padaku sebagai bukti kenangan betapa berjasanya

beliau ketika mendidik kami dulu. Tanpa nasehat-nasehat yang

ditanamkan kejiwaku rasanya tak mungkin aku menyelesaikan kuliahku,

dimana aku hanyalah sebuah noktah tak berarti dibelantaramahasiswa-

mahasiswa cerdas yang berebut menimba ilmu di PT paling tua

di negri ini. Engku Guru Wahidin berlinangan air mata ketika menerima

amplop tipis dariku. Disaat itulah beliau memberikan sobekan amplop

surat Tini yang berisinya alamatnya di satu Wilayah di Jogjakarta.


Dari beliaulah aku tahu bahwa Tini telah menikah sejak dia semester

dua di sebuah Institut Keguruan Negri di Ibukota Propinsi kami.

Sobekan alamat itu tetap kusimpan di dompetku bahkan sampai

bertahun-tahun sehingga akhirnya kami bertemu kembali pada acara

reuni SMA kami.


Pasang surut kehidupan kami telah kami lalui kami sudah sama-sama

menjelang paruh baya. Keakraban dulu yang kami rasakan lebih dari tiga

tahun telah kembali pulih. Yang menyedihkan adalah kabar dukacita

wafatnya Engku Guru Wahidin dua tahun yang lalu.

Beliau adalah seorang pendidik yang sangat didambakan pada

masa sistem pendidikan carutmarut dan penuh dengan nuansa

kemunafikan. Keikhlasannya mentransfer ilmu telah mendorong kami

berprestasi dan mengembalikan putrinya menjadi seorang ibu yang penuh

tanggungjawab terhadap keharmonisan keluarganya.


Selamat jalan Engku Guru kami tetap mengenangmu disudut hati kami yang

paling dalam.


Tangerang, 20 November 2009

Tidak ada komentar: