ilustrasi : http:// jagatpamulang.blogspot.com dan ada juga di web lain
Kami berpelukan hangat, saling memandang. “Ah Tini aku sangka kau tadi
istrinya Wido” Tini tertawa pelan sambil berucap “apa kabar Tuti, kau
kelihatan jauh lebih kurus daripada duapuluh lima tahun yang lalu saat
kita berpisah di SMA kita”. “Ya Tin sejak tiga tahun terakhir aku
memang tambah kurus”. Lalu aku menjelaskan padanya bahwa aku terserang
penyakit degeneratif ‘diabetes melitus’, sehingga untuk pergi ke reuni
ini pun sebenarnya perlu usaha keras bagiku karena aku mudah sekali
merasa capek dan lemas.
Pertemuan dengan Tini mengingatkan aku kembali bahwa dia adalah
satu-satunya sahabat sejatiku ketika SMP. Namun persahabatan itu
terputus ketika kami sama-sama naik kelas II SMA di sekolah negeri
satu-satunya di wilayah desa kami. Wajah Tini dan postur tubuhnya tak
jauh berbeda dengan masa gadisnya, cuma kulitnya kelihatan lebih gelap
dan wajahnya itu seperti menyimpan sesuatu …
Aku bersua dengannya ketika masuk SMP Islam di desaku. Dia berasal
dari sebuah desa di kabupaten yang berjarak kurang-lebih 60km dari
desaku. Tini adalah anak kedua dari Engku Guru Wahidin. Ayahnya telah
mengabdi di desa kami sejak mudanya, mengajar banyak bidang studi
untuk tingkat SD dan SMP sekaligus. Engku Guru Wahidin seorang guru
sederhana berwajah teduh. Beliau mendidik murid-muridnya benar-benar
dengan keikhlasan yang tinggi. Kalau dihitung-hitung honor yang beliau
terima tidaklah seberapa, bahkan jauh dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya. Tapi begitulah guru jaman itu. Semangat
pengabdian dan keinginan murid-muridnya ‘menjadi orang yang lebih
maju’ adalah spirit utamanya.
Engku guru Wahidin dikarunia Allah 4 orang anak. Anak pertamanya kak
Lastri telah tamat SMA ketika kami masuk SMP. Setelah lulus SMA
dia kembali ke desanya dan Tini menggantikan kedudukan kakaknya untuk
menemani Engku Guru. Diapun tinggal dan bersekolah di desa kami. Dua adik
Tini laki-laki. Aku tak sempat mengenali mereka karena ketika tamat
SMA mereka masih kecil-kecil.
Sewaktu SMP kami selalu bersama-sama. Kami merasa klop mungkin karena
latar belakang ekonomi kami hampir serupa. Aku anak seorang janda tua
yang biaya kehidupan ditopang kakak-kakak yang sudah bekerja.
Sementara dia anak seorang guru honorer di sebuah yayasan Islam yang
tidak besar. Ekonomi keluarganya ditunjang oleh ibunya yang giat
bertani di desanya. Kemanapun pergi kami selalu bersama begitu juga
untuk kegiatan belajar bersama diluar jam sekolah. Aku sering ke
tempat tinggalnya begitu sebaliknya. Kami sama-sama bersemangat dan
bermotivasi untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi. Karena hanya
dengan nilai yang bagus kami baru bisa diterima di sekolah negri yang
hanya satu – satunya diwilayah kami tinggal.
Persaingan untuk diterima di SMAN itu cukup ketat sebab pastilah
anak-anak desa lain yang jumlahnya sangat banyak mengincar bangku
yang sama. Berkat kerajinan dan niat yang kuat kami bersama kurang lebih
limabelas siswa SMP lainnya dari desa kami diterima di SMA itu. Kala
itu untuk mencapai SMA tersebut harus menempuh sekitar setengah
jam naik oplet tapi kendalanya adalah jumlah oplet yang hanya tidak
lebih dari tiga menyulitkan kami untuk sampai di sekolah tepat waktu.
Padahal sekolah ini menerapkan disiplin yang cukup ketat. Terlambat,
berarti harus bersedia dijemur dibawah terik matahari pagi selama
15menit. Kota dengan penghasilan utamanya dari pertambangan batu-batu
alam tersebut memiliki hawa panas sehingga bisa dibayangkan penderitaan
yang harus dialamibila kami telat datang.
Keadaan inilah yang menyebabkan aku akhirnya memutuskan indekos di
rumah famili yang ada di kota itu. Kebetulan rumah tersebut memang
disewakan untuk anak-anak SMA karena pemiliknya tinggal di ibukota
Jakarta. Daripada rusak dimakan rayap, rumah tersebut disewakan
dengan harga yang cukup terjangkau.
Awal-awal indekos banyak dukanya, kami harus memasak sendiri untuk
mengirit biaya yang memang pas-pasan. Namun pada waktu bersamaan
aku mulai merasa kehilangan keakraban dengan Tini . Tini berubah
sikap. Sekarang dia terlihat riang gembira dan jauh lebih lincah
daripada ketika di SMP dulu. Rupanya dia yang berwajah manis dan
berpostur menarik banyak disenangi teman-teman cowok dan kakak-kakak
kelas kami. Dia mulai sibuk dengan kegiatan dan pergaulan baru.
Kegiatan berpacaran jadi hobi barunya seakan-akan lupa dengan nasehat
Engku Guru Wahidin yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri.
Beliau sangat berharap agar prestasi kami tidak menurun setelah SMA
dan selalu menjaga martabat kewanitaan kami. Tapi usia remaja dan
popularitas membuat Tini lupa niat perjuangan awalnya. Akupun mulai
menjaga jarak karena pahamku dengannya telah berbeda. Aku bertekad
tetap sungguh-sungguh belajar karena sejak kecil aku telah berbulat
tekad harus menjadi sarjana dan lulus dari Perguruan Tinggi ternama di
Negara ini. Sehingga aku tak bersedia larut dalam pergaulan semasa
SMA.
Setelah 6 bulan indekos aku akhirnya memutuskan kembali ke desa dan
pulang pergi naik kendraan umum. Sementara Tini tetap kos disana.
Ujian kenaikan kelas akhirnya membuktikan perbedaan kami. Aku berhasil
masuk jurusan bergengsi IPA, sementara Tini harus puas dengan jurusan
IPS. Saat itu memang jumlah nilai yang menentukan jurusan belum ada
yang namanya penelusuran bakat dan minat seperti yang berlaku di
sekolah- sekolah di ibukota. Padahal dia bercita-cita menjadi seorang
Insinyur Pertanian dan dengan ilmunya kelak bisa meningkatkan
produksi bertanian di desanya yang berlahan subur.
Sejak itu aku tidak lagi bergaul rapat dengannya hanya sekedar
tersenyum atau menyapa saja yang kami lakukan. Kami sibuk dengan
teman-teman sendiri di jurusan masing-masing.
Lama sekali aku tak mendengar kabarnya. Sampai aku lulus menjadi
sarjana aku tidak tahu dimana Tini berada dan apa yang terjadi
dengannya. Barulah setelah berselang 9 tahun dan aku dikaruniai 1 orang
putra barulah kuperoleh sekelumit informasi tentang dirinya.
Kabar beritanya aku dengar dari ayahnya Engku Guru Wahidin ketika aku
menemui beliau sewaktu aku pulang kampung bersama keluarga kecilku.
Aku kaget ketika aku menemui beliau dirumah kontrakannya. Engku
kelihatan sangat tua kepalanya telah memutih oleh uban. Bahkan tak
tersisa selembarpun rambut hitam di kepalanya. Aku memberi sedikit
dari rizki yang ada padaku sebagai bukti kenangan betapa berjasanya
beliau ketika mendidik kami dulu. Tanpa nasehat-nasehat yang
ditanamkan kejiwaku rasanya tak mungkin aku menyelesaikan kuliahku,
dimana aku hanyalah sebuah noktah tak berarti dibelantaramahasiswa-
mahasiswa cerdas yang berebut menimba ilmu di PT paling tua
di negri ini. Engku Guru Wahidin berlinangan air mata ketika menerima
amplop tipis dariku. Disaat itulah beliau memberikan sobekan amplop
surat Tini yang berisinya alamatnya di satu Wilayah di Jogjakarta.
Dari beliaulah aku tahu bahwa Tini telah menikah sejak dia semester
dua di sebuah Institut Keguruan Negri di Ibukota Propinsi kami.
Sobekan alamat itu tetap kusimpan di dompetku bahkan sampai
bertahun-tahun sehingga akhirnya kami bertemu kembali pada acara
reuni SMA kami.
Pasang surut kehidupan kami telah kami lalui kami sudah sama-sama
menjelang paruh baya. Keakraban dulu yang kami rasakan lebih dari tiga
tahun telah kembali pulih. Yang menyedihkan adalah kabar dukacita
wafatnya Engku Guru Wahidin dua tahun yang lalu.
Beliau adalah seorang pendidik yang sangat didambakan pada
masa sistem pendidikan carutmarut dan penuh dengan nuansa
kemunafikan. Keikhlasannya mentransfer ilmu telah mendorong kami
berprestasi dan mengembalikan putrinya menjadi seorang ibu yang penuh
tanggungjawab terhadap keharmonisan keluarganya.
Selamat jalan Engku Guru kami tetap mengenangmu disudut hati kami yang
paling dalam.
Tangerang, 20 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar