Minggu, 17 Januari 2010

Mengapa Ande

Ande adalah kata yang dikenal di wilayah Sumatera Barat. Selain di nagari Silungkang dan di wilayah Padang Pariaman kata ini lebih sering diucapkan sebagai "mande". Pada umumnya kata ini berarti "ibu". Akan tetapi sepengetahuan saya di daerah Padang Pariaman kata ande bukan ditujukan kepada ibu tapi biasanya dipakai untuk panggilan istri dari "mamak" (paman).
Panggilan ande terhadap ibu di nagari saya saat ini sudah jauh berkurang, entahlah apakah karena terdengar kurang tren atau alasan lain, saya sendiri saja tak lagi menyuruh anak saya menggunakan kata itu untuk memanggil saya. Namun belakangan ini setelah usia saya merambat hampir setengah abad, panggilan ini kembali terdengar syahdu di bathin saya. Lewat tulisan ini saya menghaturkan rasa hormat dan kagum pada salah satu teman SMA saya yang masih membiasakan anak-anaknya memanggil dirinya ande padahal mereka semua lahir di Jakarta.


Mengapa kata ande ini yang saya pakai sebagai alamat blog saya? Jawabnya adalah karena kata inilah yang pertama terlintas dalam pikiran saya. Barangkali karena saya sangat terinspirasi oleh ibu atau ande saya sendiri. Alhamdullilah kami anak-anaknya masih menikmati hidup bersama beliau hingga hari ini.

Ande saya dilahirkan kira-kira tahun 1925, berarti tahun ini beliau berusia 85 tahun. Beliau anak bungsu dari 6 bersaudara. Tapi 2 orang kakak beliau meninggal ketika masih kecil. Ketiga kakak beliau (1 wanita dan 2 pria) telah berpulang ke 'Rahmatullah'. Walaupun tinggal di sebuah nagari kecil ternyata ande tetap punya cita-cita yang tinggi, beliau termasuk segelintir orang di masa itu yang tetap bersekolah dan melek huruf. Coba dibandingkan dengan orang-orang seusia yang tinggal di pelosok Indonesia yang lain, bahkan sampai sekarang masih ada rakyat Indonesia yang buta huruf.

Ande bercerita bagaimana dia tetap "kekeuh" pergi menuntut ilmu ke "sekolah rakyat" walaupun nenek saya terkadang melarangnya karena nenek berpikir toh ande kan anak wanita lebih baik belajar bertenun saja. Oh iya, di nagari saya Silungkang bertenun adalah salah satu ketrampilan yang telah dilakoni turun menurun dan menjadi salah satu produk tekstil yang dikenal luas sampai mancanegara. Salah satu penyesalan saya adalah saya tidak pandai bertenun akibat malas mempelajarinya ketika saya masih di kampung dulu.

Ande telah ditinggal wafat ayahnya ketika usianya 3 tahun. Neneklah yang bekerja keras untuk menghidupi anak- anaknya dengan bertenun dan membuat kerupuk singkong (di Jabotabek dikenal dengan sebutan kerupuk "opak") dan menjualnya ke kota Sawahlunto (sebuah kota kecil di Sumatera Barat yang sejak jaman penjajahan Belanda cukup populer karena daerah penghasil batu bara).

Ibu saya kata nenek tumbuh sebagai gadis manis berambut panjang dan mempunyai sifat penyabar. Barangkali penampilan dan sifat beliau inilah yang membuat ayah saya jatuh cinta pada beliau ( bila saya bertanya pada ande beliau akan tergelak dan menyebut pertanyaan saya ada- ada saja).

Ande menikah dengan ayah kira-kira tahun 1941. Beliau melahirkan 12 orang anak dan saya adalah anak ke 11. Kakak pertama saya laki-laki tapi meninggal saat usia 2 tahun. Kematian kakak pertama ini juga punya cerita yang cukup tragis dan menjadi salah satu kesedihan awal yang dipendam ande. Ketika abang (atau "datuk", salah satu panggilan khas yang juga hanya di Silungkang, karena di wilayah lain datuk adalah panggilan untuk kakek atau para penghulu) pertama lahir, Indonesia sedang berkecamuk oleh invansi Jepang ke Wilayah Asia. Jepang saat itu sangat kejam mereka akan membuang semua beras yang disimpan petani ke danau Singkarak kecuali beras yang disediakan untuk para ibu dan anak-anak Balita saja.

Ketika itu keluarga nenek dari pihak ayah mempunyai sawah di daerah Cupak (wilayah Kabupaten Solok Sumatera Barat). Dalam upaya mendapatkan jatah beras disuruhlah ande yang memiliki bayi untuk datang ke Cupak meminta pembagian kepada penjajah Jepang. Barangkali karena perjalanan cukup jauh dan obat-obatan yang tidak memadai sepulang dari Cupak tersebut abang pertama sakit keras dan nyawanya tak tertolong lagi.

Penderitaan berikutnya adalah saat Belanda yang tak rela daerah jajahannya 'mutiara mutu manikam' yang telah memberi mereka kekayaan tak terhingga menjadi wilayah merdeka memaksa masuk kembali ke Indonesia. Pada saat agresi Belanda ke dua itu ande dan 2 kakak yang masih kecil harus mengalami kesulitan hidup karena keadaan yang bergejolak. Berikutnya adalah penderitaan disebabkan keadaan yang mencekam ketika pemberontakan PRRI berkecamuk di Sumatera Barat. Bagaimana sengsaranya ibu dan kakak-kakak yang masih kecil-kecil harus sering berdempetan dalam lubang persembunyian menghindari tembakan salah sasaran dari tentara pusat yang mengejar geriliawan PRRI yang bersembunyi di bukit-bukit. Tentara-tentara itu menembaki ke segala arah dari kereta yang bergerak, dan kebetulan rumah kami berada tepat di sisi jalan kereta api yang menghubungkan kota Padang dan Sawah Lunto. Saat itu ande telah mempunyai 7 orang anak yang masih kecil- kecil (kakak tertua yang hidup baru berumur kurang lebih 12 tahun). Penderitaan ini tentu tak hanya dialami ande sekeluarga, tapi pada umumnya dialami juga oleh rakyat Sumatera Barat lainya. Tapi dalam persepsi saya keadaan yang lebih memberatkan ande saat itu karena selain mengurus anak-anak yang masih kecil-kecil ("susun paku") kakak saya yang ke 6 juga menderita gangguan epilepsi karena terjatuh dari tempat tidur. Seharusnya kakak tersebut di rawat di Rumah Sakit yang hanya ada di Sawahlunto tapi tak bisa dilaksanakan ibu karena harus pula menjaga 3 anak lain yang masih butuh perhatian dan perawatan penuh dari ande. Walaupun dibantu nenek tentu mengurus anak-anak yang kecil tetap butuh tenaga ekstra.

Penderitaan yang terbesar yang dialami ande adalah ketika harus kehilangan anak perempuan cantiknya (kakak saya yang ke 9) ketika banjir besar melanda Silungkang tahun 1961. Rumah kami yang berada di tepi sungai Batang Lasi dan lurah kecil Lungkang dilanda banjir. Waktu itu ayah dan nenek kami sedang merantau ke Jakarta. Ande dan 4 kakak saya yang terkurung dalam rumah tak bisa melarikan diri ke lantai bagian atas karena tangganya berada di luar rumah. Dua kakak yang masih balita terlelap di atas kasur di atas divan besi. Sewaktu air banjir telah memenuhi rumah ande bergelantungan di para-para jendela sambil mengendong kakak yang menderita epilepsi. Kedua kakak yang balita terapung-apung diatas kasur tapi tiba-tiba kakak perempuan yang belum 2 tahun saat itu terjatuh ke dalam air karena dia bergerak ingin menyusu. Kakak yang berada bersamanya belum mampu memberi pertolongan. Akhirnya si kakak yang cantik itu berpulang kerahmatullah dan mayatnya mengapung ke dekat ande. Walaupun akhirnya ande dan kakak yang lain bisa diselamatkan bisa saya bayangkan betapa terpukulnya ande ketika menyaksikan mayat anaknya mengapung ke dekat dirinya sementara dia tak berdaya menolong.

Kesulitan -kesulitan hidup terus berlanjut, tapi ande tetap tabah ( seperti yang diceritakan nenek kepada saya). Penderitaan berikutnya adalah saat saya baru berusia hampir 2 tahun dan adik terkecil sedang dalam kandungan ande, ayah tercinta kami dipanggil Allah di Jakarta. Saat itu baru 1 orang kakak yang menikah. Saya bisa membayangkan kegoncangan yang dialami seorang wanita yang sedang hamil dan mengurus sejumlah anak yang masih kecil ditinggal wafat seorang suami. Tapi itulah ande "life is must go on" ande tetap sabar dan mengsiasati hidup sebisanya sehingga tak ada anak-anaknya yang menjadi kurang gizi seperti yang sering kita saksikan pada masa yang telah moderen ini. Adik kami yang ditinggal ayah dan tak pernah bertemu dengan ayah terlahir dengan cacat bawaan yaitu "down Syndrom". Hebatnya ande tetap merawat semua anaknya dengan kasih sayang yang benar-benar tulus dan kesabaran yang luar biasa.

Saya saksi hidup bagaimana ande dihina oleh orang - orang yang seharusnya membantu beliau dalam kesulitan hidup sebagai janda yang mengurus banyak anak. Tapi ande sekalipun tak pernah membalas penghinaan itu dengan balasan kasar. Beliau tetap melayani orang-orang yang menghinanya dengan senyum dan hidangan sebisanya bila mereka datang ke rumah.

Contoh lain dari ande yang saya lihat adalah beliau hampir tidak pernah menolak pengemis walaupun kami sendiri tak punya beras atau lauk untuk dimakan. Apapun yang bisa beliau berikan kepada pengemis akan beliau usahakan misalnya mencarikan pakaian bekas atau peralatan bekas yang bisa dijual oleh si pengemis. Hampir tak pernah beliau menolak tamu, bahkan bisa dikatakan siapapun tamu yang datang beliau akan memberikan hidangan semampu beliau.

Ande adalah tipikal penyabar yang benar-benar sulit saya tiru. Beragam kenakalan kami anak-anaknya tak sekalipun kata kasar keluar dari mulutnya. Itulah yang saya kagumi. Banyak hal lain yang mengagumkan sulit saya sebutkan satu persatu. Bahkan sampai berumur uzurpun ande selalu ingin melayani anak-anaknya. Tak pernah sekalipun dia meminta pada anak-anaknya malah sebaliknya beliau selalu ingin memberi.

Menuliskan "mengapa Ande" ini bukan dalam rangka membangga-banggakan ande walaupun sejujurnya saya bangga menjadi anaknya akan tetapi saya ingin mengenalkan beliau kepada cucu-cucu atau cicit-cicitnya yang terlahir dalam keadaan yang berbeda dengan jaman neneknya. Sehingga mereka bisa memahami dan berempati pada tingkah laku ande yang sulit mereka mengerti .

Hanya kepada Allah saya berharap akan membalas semua kebaikan ande dan menyediakannya tempat terbaik di sisiNYA kelak. Saya berdoa semoga ande tetap menjadi teladan bagi kami keturunannya.

Tangerang, 17 Januari 2010

1 komentar:

bang 'oldy mengatakan...

mantappp Tek.. keren