Selasa, 01 Juni 2010

“PINTU CINTA” : antara Lestari dan Salama


“ Dan segala sesuatu tak dapat kita pahami dan alami secara menyeluruh. Benar dan sempurna. Kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia, membatasi pengetahuan kita terhadap hakekat-hakekat. Apalagi yang gaib! Jangkauan pemikiran tak bisa tembus ke arah itu. Maka apabila di dalam sebuah hadis dikatakan dan diperintahkan untuk hanya memikirkan apa yang diciptakan Allah, dan tidak memikirkan Dzat Allah itu adalah benar. Karena memang akal tidak sampai ke sana. Begitulah indera. Dan jika kita memaksakan, bisa berbahaya. Bisa-bisa gila atau kehilangan akal sehat. Menjadi Atheis. Tidak mempercayai Tuhan lagi. Sebab alam pikir dan indera dipaksa melihat yang gaib secara konkrit. Sesuatu yang tidak mungkin, karena kelemahan dan keterbatasn yang kita miliki sebagai manusia, dan keBesaran dan keAgunganNya yang tak setara dan sebanding dengan apapun juga dari makhluk ciptaaNya itu! ”. Ini sepenggal dari rangkaian kalimat yang diingat Lestari pernah dinasehatkan oleh Salama kepadanya.

Lestari dan Salama adalah dua tokoh utama dalam Novel Pintu Cinta karangan Ibu Fatma Elly yang diterbitkan Establitz, September 2007. Dua tokoh yang sangat berbeda “black & white”. Lestari berasal dari keluarga yang berantakan dan memliki ayah yang memiliki segala sifat dan perilaku buruk, seperti pemarah, pemabuk dan suka wanita dan ibu yang sangat sabar dan penuh kasih. Lestari memiliki dua saudara perempuan Ratna dan Ria. Sifat dan perilaku buruk ayahnya merusak kejiwaan ketiganya. Kakak tertua memutuskan tidak menikah karena trauma dengan rumah tangga orang tuanya, kakak kedua menikah tapi selalu dalam keraguan dan kecemasan ditinggalkan suami sementara Lestari sendiri tumbuh menjadi pribadi yang sangat pendendam dan selalu ingin melampiaskan dendam kepada ayahnya ke semua laki-laki yang dekat dengannya. Sedangkan Salama adalah tokoh lain yang serba baik. Dia seorang anak yatim yang diasuh bibinya, tumbuh dalam siraman pengetahuan keagamaan yang baik. Selalu memandang segala aspek kehidupan dalam kerangka kelurusan agama dan selalu berusaha menjalankan syariah agama yang dianutnya. Dia digambarkan sebagai seorang gadis cantik, lembut, keibuan dan tentu saja cerdas.

Penulis menjadikan dua tokoh ini untuk menyampaikan segala uneg-uneg pemikirannya mulai dari masalah politik dalam dan luar negeri, pengetahuan dan pemahaman keagamaan sampai masalah kelainan kejiwaan yang disebabkan oleh pengaruh keluarga seperti yang dialami Lestari. Semuanya diberikan landasan “hujjah” dari Al Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Dari novel ini tergambar keluasan wawasan pengetahuan penulis dan juga terlihat dari jumlah kitab dan buku yang dijadikan acuan yang dicantumkan dalam daftar kepustakaan. Yang unik dari novel ini ada halaman khusus dimana penulis mengutip kalimat percakapan dalam novelnya dan mencantumkan ayat-ayat AlQur’an atau hadis yang melandasi kalimat-kalimat tersebut. Cara ini tentu akan membantu pembaca yang bergerak dibidang dakwah untuk mencari ayat yang tepat untuk landasan bagi dakwahnya.

Kelembutan dan kasih sayang Salama kemudian menyebabkan Lestari meng”identifikasi”kan Salama sebagai “ibu” yang sangat dicintai dan ingin dilindunginya dari perilaku kejam ayah sehingga menimbulkan gairah cinta kepada sesama jenis. Walaupun novel ini banyak bergaya tutur pemberian nasehat, tapi karena alur cerita yang lentur dan diselingi konflik-konflik yang mengejutkan membuat tetap enak dibaca dan mampu memancing emosi pembacanya.

Keoptimisan penulis bahwa sesuatu yang sangat buruk sekalipun bisa diubah tercermin dari ungkapan Lestari berikut ini : “Dan bukan seperti anggapan umum, yang menganggap bahwa hal yang saya alami akibat adanya kelainan jiwa. Penyakit jiwa. Padahal demi jiwa yang disempurnakan, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mengsucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Jadi pada setiap orang ada potensi baik dan buruk. Tinggal bagaimana manusia itu sadar untuk selalu meluruskan dan mensucikan potensi buruk yang dimilikinya”. Novel ini ditutup dengan ayat AlQuran yang menimbulkan semangat untuk memperbaki diri (QS 39:53): “ Hai hamba-hambuKU yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Menurut saya buku ini patut dibaca berbagai kalangan, seperti mereka yang bergerak di bidang dakwah, kejiwaan, atau pemerhati politik sekalipun.

Tangerang, 1 Juni 2010

Tidak ada komentar: