Rabu, 10 Februari 2010

Sekuntum Bunga Cinta Dari Surga


Setelah delapan hari absen menulis di blog hari ini saya mencoba menuangkan kembali apa yang tersembunyi dibalik lipat-lipatan otak saya. Kemaren telah saya coba dengan gaya bahasa puitis tapi tak berhasil. Saya belum bisa menulis rangkaian kata-kata indah berselimut lelehan gula-gula yang manis dibaca. Saya hapus kembali draf itu dan saya akan menulis sebagaimana bisanya saya saja.


Sebenarnya saya tak ingin membuka aib atau menceritakan keadaan pribadi dan keluarga saya. Namun saya yakin apa yang saya yang alami (mirip) ini juga dialami orang lain makanya saya membagikan pengalaman ini. Asumsi saya ini terbukti dari keluhan pembaca yang sering saya baca di koran-koran atau majalah.


Pernikahan kami memasuki tahun ke tujuh belas. Untuk ukuran anak manusia sedang mekar-mekarnya. Kata orang memasuki masa ” sweet seventen”, itulah yang saya harapkan tentu demikian juga bagi pasangan yang lain. Rentang waktu yang cukup panjang tak terasa. Tahu-tahunya anak sudah mulai remaja dan kepala kami masing-masing mulai dirambati uban-uban putih yang berkilau ditimpa matahari.


Kami menikah di usia cukup matang saya 27tahun dan suami tiga tahun lebih tua. Berasal dari kampung yang sama hanya berbeda latar belakang pendidikan. Saya tamat sampai sarjana sedangkan suami kuliahnya terputus ditengah jalan karena memutuskan terjun penuh berwiraswasta (kata kerennya dari berdagang). Saya berani menerima dia menjadi pasangan hidup karena wawasannya cukup luas dan bisa berdiskusi hal-hal lain diluar dunia dagangnya sendiri selain itu tentu ada hal-hal yang menarik saya (ini dirahasiain aja deh!! ...^_^).


Waktu berjalan terus dengan seijinnya saya tetap melanjutkan karir bekerja dikantoran dan dia tetap dengan usahanya. Namun hidup ternyata tak seindah yang selalu diharapkan usahanya makin lama makin merosot dan dia sendiri juga terlihat tidak bersemangat baja untuk menghadapi tantangan yang ada. Hati saya mulai menjadi risau makin lama terasa sayalah yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Walaupun telah ditambah modal usaha tetap makin merosot. Kesal dalam hati makin bertumpuk karena dalam pandangan saya dia tetap saja santai.


Usaha silih berganti telah dicoba mulai dari berdagang makanan kecil sampai membuka konveksi tapi selalu berakhir dengan kegagalan. Untunglah sebagai orang asli Indonesia saya masih tetap merasa beruntung karena pendapatan saya masih bisa menutupi biaya keluarga tanpa perlu menampungkan tangan di bawah pada keluarga saya atau dia. Hanya saja saya sering mendongkol dan berpikir dia mengandalkan saya dan tidak cinta lagi pada saya.


Keadaan negara yang mulai kacau balau di penghujung tahun 1997 membuat saya memutuskan berhenti bekerja. Alhamdulillah di awal tahun 1998 saya dan semua karyawan tempat saya bekerja mendapatkan pesangon yang lumayan. Dengan uang itu saya ingin agar suami bisa membuka usaha lain dan lebih serius untuk berkarya dan saya berniat tidak akan bekerja lagi dengan harapan saya akan menjadi nyonya rumah tangga yang dibackup selalu oleh suami.


Tapi kenyataan berbicara lain impian saya saat itu tak bisa tercapai. Akhirnya saya ikut berdagang dan menjaga toko bahkan lebih sering di toko daripada di rumah. Sang suami tidak bisa mengubah bioritmiknya. Kebiasaan tidak tidur pada malam hari tapi baru bisa tidur setelah subuh berlanjut terus. Sedangkan toko kan harus dibuka pagi. Alhamdulillah mulai pertengahan tahun 1998 adik ipar yang paling bungsu menolong kami. Dongkol hati pada suami sedikit terobati oleh sikap adik-adik ipar pada saya. Saya merasa mereka sangat menghormati dan menyayangi saya. Mereka tak pernah sungkan bila saya membutuhkan pertolongan.


Hidup berjalan terus silih berganti suasana yang kami lalui. Adik-adik ipar saya jauh lebih rajin daripada abangnya. Saya perhatikan sikap abangnya malah menjadi inspirasi bagi mereka agar menjadi tidak sama dengannya . Mereka menjadi lebih rajin dan ulet sebagai pengusaha muda. Salah satu dari mereka malah bisa membuka tiga toko sekaligus. Tentu selain menguntungkan bagi mereka pribadi juga sekaligus membuka lowongan kerja bagi orang lain. Kami yang memulai usaha dan memperkenalkan mereka kepada pelanggan dan pemasok malah jauh tertinggal secara ekonomi dari adik-adik itu. Saya tidak iri sama mereka tapi saya memendam rasa sesal kenapa suami tidak berusaha untuk lebih gesit daripada yang selama ini dia tunjukkan pada saya. Barangkali kalau omelan dan penyesalan-penyesalan kepada suami saya tulis dan dibukukan mungkin telah terbit satu buku tebal. Sekarang saya menyesal betapa besar dosa saya kepadanya kepada orang yang dulu saya terima menjadi pemimpin saya di hadapan Allah.


Untunglah saya memiliki ande (ibu) yang sangat bijaksana . Apabila saya curhat dan berkeluh kesah pada beliau tentang “laziness” suami, beliau menyuruh saya bersabar dan meminta kepada Allah melalui shalat agar hati suami dibukakan agar lebih rajin dan tangguh dalam berusaha. Tak pernah sekalipun beliau menghasut saya melakukan hal-hal yang dibenci Allah.


Tapi dasar saya yang tidak pandai bersyukur saya selalu diliputi angan-angan yang palsu. Saya ingin kaya seperti teman-teman lain. Saya yang hanya mendengar kemajuan ekonomi mereka saja tanpa tahu apakah mereka mempunyai persoalan lain ingin memiliki kecukupan ekonomi yang sama. Ketidak bersyukuran saya ini ditegur Allah dengan cara yang menurut saya cukup jenaka. Tiba-tiba dalam keadaaanya cukup sehat kaki saya bengkak dan perasaan lemas serta selalu haus menjangkiti saya. Setelah diperiksa dokter saya kaget bak terkena halilintar di siang bolong. Saya diberi tahu bahwa saya terserang penyakit gula dengan kondisi endapan gula yang cukup tinggi dalam darah saya. Konsekuensinya menurut dokter saya harus meminum obat seumur hidup.


Dengan kondisi kesehatan yang menurun saya tetap berusaha berdagang. Suami membuka satu toko lain yang dikelolanya sendiri keadaan itu membuat saya merasa lebih nyaman walau masih sering saja memendam dongkol karena tetap saja dia membuka toko siang bahkan lebih. Saya tetap berpedoman pada petuah kuno bahwa usaha itu harus di buka pagi. Sebaliknya suami punya argumen berbeda “ngapain capek buka pagi-pagi kalau pada umumnya pelanggan datang sore hari”.


Makin berjalannya masa perbedaan pandangan itu tak lagi menjadi sesuatu yang terlalu menyita pikiran saya karena saya mulai belajar “cuek” . Toh suami telah berusaha sendiri jadi saya hanya mendampingi saja. Syukur-syukur usaha saya juga ramai.


Sedikit demi sedikit saya mulai merenung apa sebetulnya yang saya harapkan dari hubungan suami istri ini dan apa sebetulnya tujuan hidup saya. Sementara penyakit saya makin menggerogoti tubuh tapi sebaliknya pikiran saya malah menjadi makin jernih. Besar sekali penyesalan dalam hati mengapa selama ini saya sering berkeluh kesah dan mendongkol pada suami. Mengapa saya tidak mengsyukuri apa yang saya terima dan apa yang ada di depan mata saya. Dia bukanlah suami yang cerewet apalagi pemarah. Dia tidak pernah menuntut ini itu ataupun pelayanan yang sempurna dari saya. Walaupun dia jarang mau menemani saya kesana sini tapi dia tak pernah melarang saya pergi kemana saya suka paling dia hanya mengingatkan kondisi kesehatan saja atau kesanggupan saya untuk bepergian.


Kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan diiringi omzet toko yang saya kelola tidak memuaskan akhirnya saya berdiskusi dengan suami apakah lebih baik saya mundur dan tidak berdagang lagi. Tak dinyana suami sangat mendukung dan dia bilang lebih baik saya dirumah memulihkan kesehatan dan biarkan dia yang sepenuhnya mencari nafkah. Hari – hari pertama di rumah memang agak membuat saya linglung karena tidak terbiasa dengan rutinitas rumah tangga seperti itu. Saya masih mencoba-coba apa yang akan saya lakukan untuk menghasilkan uang sendiri. Tapi tak berhasil. Kemauan besar tapi tenaga lemah. Makin hari saya makin berpasrah diri. Saya me ‘reset’ lagi apa tujuan hidup ini dan mulai menerima kenyataan dan malah semakin bergembira dengan hubungan yang saya bina dengan suami.


Hampir 10 tahun saya bergelut dengan dunia perdagangan. Sekarang saya harus ucapkan syukur Alhamdulillah bahwa rezki kami terus mengalir. Walaupun sederhana tapi kami dapat menghidupi kehidupan ini tanpa dibebani hutang piutang yang melilit leher


Sekarang saya melihat suami lebih giat dan lebih bersemangat memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Rasa cinta yang dulu kami alami kini bersemi kembali. Pernah ketika penyakit saya kambuh dan merasa sangat lemas. Tanpa saya sangka suami telah membereskan pekerjaan rumah tangga yang selama ini saya kerjakan. Saya sampai terkaget-kaget karena diapun menggilingkan cabe untuk kami. Jangan bayangkan menggiling dengan blender. Dia menggilingkan cabe secara manual dengan cobek yang dibawa dari Padang. Walaupun suami bukan lelaki romantis yang sering mengobral kata-kata “I love U” tapi perhatiannya ketika saya sedang terbaring sakit sangat menyentuh perasan saya.


Disitulah maka saya katakan Allah itu menyentil saya dengan cara yang jenaka. Dengan penyakit yang dianugerahkan ke tubuh saya. Ternyata Dia sedang membuka mata bathin saya agar pintar bersyukur dan tidak hanya pintar mengomel dan berkeluh kesah dengan keadaan pasangan yang telah saya terima di bawah persaksian langsung dari Nya disaat ijab dan kabul dulu. Sekarang Insya Allah saya tengah menikmati karunia ini sambil selalu berharap agar Dia selalu menunjukkan kebenaran bagi saya. Dan saya merasa seolah-olah lewat penyakit yang saya derita ini Allah mengirimkan sekuntum bunga cinta dari surga keharibaan saya.


Problema dan jalan keluar yang saya lakukan tentu hanya cocok untuk keadaan saya tidak sesuai untuk orang lain. Tapi saya berharap apabila ada pembaca catatan ini dan kebetulan tengah bermasalah dengan pasangannya mereka dapat bersabar dan berpikir ulang tentang keaadaan tersebut dan saya mendoakan mereka mendapatkan solusi yang tepat pula untuk menyelesaikan permasalahan itu.


Selamat menikmati segala cobaan dan lika-liku kehidupan berumah tangga.



Tangerang, 10 Februari 2010

Tidak ada komentar: