Sabtu, 27 Maret 2010

KERUSAKAN MORAL PARA PEMIMPIN DAN SOLUSI PERBAIKANNYA

Membaca salah satu artikel dalam salah satu blog yang memenangkan penghargaan mingguan dari internet sehat mengenai perkembangan moral (http://ruangpsikologi.com) saya tergelitik untuk mencoba pula menuliskan pemikiran berkaitan dengan moral manusia Indonesia, khususnya para pemimpinnya.

Sebelum era reformasi tahun 1998 kita sadar bahwa moral sebagian besar para pemimpin sudah sangat bejat tapi kita tak dapat berkutik karena kuatnya lingkaran kekuasan yang dibangun oleh imperium Suharto dan militer. Banyak orang tahu ada KKN di sekitarnya tapi mereka sangat takut bersuara. Tentu tak hanya saya yang berharap agar kondisi kebobrokan moral itu berubah setelah era reformasi, tapi apa lacur bukannya berkurang malah semakin marak. Kalau dulu orang maling di bawah meja sekarang malah mejanya juga dIlibas. Dulu hanya seputar kekuasaaan yang KKN, sekarang tambah banyak orang ingin ikut berpartisipasi juga. Lihat saja ketika masa PEMILU tanpa malu-malu yang ingin menjadi anggota perlemen menyuap rakyat yang akan memberi suara tanpa jelas darimana sumber uang mereka untuk membeli suara itu, kalkulasinya setelah jadi nanti modal mereka akan kembali bahkan berlaba. Pemimpin seperti apa yang kita miliki? Sejauh mana perkembangan moral mereka?

Dalam teori moral yang dikembangkan ahli-ahli barat peningkatan tahapan perkembangan moral manusia selalu terkait dengan perkembangan usia dan tingkat kognitifnya. Ahli yang terkenal adalah Lawrence Kolberg (Sumber: Wikipedia Bahasa Indonesia). Ia membagi 3 kelompok tingkatan dari 6 tahapan perkembangan moral itu sebagai berikut :

Tingkat 1 ( Pra Konvensional) (perkembangan moral anak-anak)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman

2. Orientasi minat pribadi (apa untungnya buat saya)

Tingkat 2 (Konvensional)

3. Orientasi keserasian interpersonalitas dan konformitas (sikap anak baik)

4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (moralitas hukum dan aturan)

Tingkat 3 (Pasca Konvensional)

5. Orientasi kontrak sosial

6. Prinsip Etika Universal

(Penjelasan lebih jauh teori ini silahkan baca sumber yang saya maksudkan). Setelah membaca teori tahapan perkembangan moral di atas dan membandingkan dengan keadaan moral kebanyakan pemimpin kita patut diduga bahwa telah terjadi ketidakberkembangan moral bahkan stagnasi pada satu tahap yang rendah. Sehingga tidak lagi sesuai dengan perkembangan usia dan kognisi mereka sebagaimana yang seharusnya diharapkan dari para pemimpin tersebut.

Tidak dipungkiri ada sedikit kemajuan di era reformasi ini yaitu kebebasan pers sehingga yang dulu kita tidak bisa tahu sekarang dengan mudah kita ketahui. Bahkan sekarang hampir tiap hari disodorkan hidangan berita yang maaf “nauzubillah”. Kadang perut ini terasa mual melihat tontonan kemunafikan orang-orang yang telah duduk di kursi-kursi kekuasaan. Sumpah atas nama Tuhan mereka masing-masing sebelum memangku suatu jabatan seolah-olah tak ada jejak sama sekali pada perilaku mereka. Lihat betapa “noraknya” anggota DPR ketika sidang yang kata mereka atas nama rakyat. Mereka tak segan berteriak-teriak seperti penonton sepakbola remaja bahkan tanpa sungkan mengeluarkan kata-kata jorok. Ada pula yang berkata dengan kesantunan tinggi tapi tak ada bedanya toh itu hanya topeng belaka karena tanpa malu-malu mereka turut serta memamerkan kemewahan ditengah-tengah rakyat yang berjibaku mendapatkan sedikit penghasilan untuk menghidupi keluarganya.

Lihatlah para pejabat polisi, para pengacara dan penegak hukum yang lain yang sering muncul di televisi, pembicaraan mereka sering tidak konsisten apalagi bila satu kasus terkuak dan menyinggung keberadaan mereka, mereka akan ngotot mempertahankan bahwa cara mereka benar, padahal logika anak kecil saja barangkali tidak akan bisa menerimanya apalagi bila hatinurani masing-masing penonton telah bicara. Lihat juga sebagian mereka mengaku sebagai pendakwah tanpa malu dan risih memperlihatkan gaya yang mewah dengan penampilan “fashion” terakhir dan telah menjadi rahasia umum bila mengundang mereka jamaah harus menyediakan dana selangit untuk mendapatkan siraman rohani dari mereka. Sungguh ironis !!. Walaupun dalam hal ini saya pribadi setuju para pendakwah itu memang harus dibiayai jamaahnya karena mereka telah menghabiskan waktu mereka untuk mencerahkan ummat, tapi tentu jangan bertingkah laku seperti seorang artis profesional yang menentukan tarif sebelum mereka tampil.

Lihat juga ada aksi aktor papan atas yang mengaku berasal dari keluarga pondok pesantren tapi tanpa sungkan mencium punggung terbuka artis teman duetnya. Patutkah itu, apakah dia tak berpikir bahwa kelakuannya tak lebih baik dari orang biasa yang tidak mengenal nilai-nilai agama. Saya jadi meragukan apakah perkembangan moral sejalan dengan peningkatan pengetahuan agama, karena banyak kita lihat orang yang berbicara atas nama agama tapi sebenarnya menyembunyikan moral yang hancur-hancuran di belakang penampakan kesehariannya. Tampak semuanya bertingkah hipokrit dan tak malu-malu lagi melakukan hal-hal yang tidak sesuai perkembangan moral.

Apa yang menyebabkan semua ini? Tak lain adalah nilai-nilai materialime yang dijunjung tinggi dan ditanamkan sejak orde baru berkuasa, mereka gigih ingin mengubah tanah Indonesia yang cocok untuk pertanian dan pengolahan hasil bumi menjadi negara industri seperti Amerika Serikat. Materi bukan lagi alat penunjang tapi telah disembah lebih daripada Tuhan yang sesungguhnya. Semua orang lebih percaya diri kalau ditunjang materi melimpah dan penampilan yang bling-bling.

Tapi apa yang terjadi puluhan tahun berlalu setelah nilai-nilai pemujaaan materi itu ditanamkan di benak semua orang? Bukan ketenangan hidup yang didapatkan, sebaliknya penyakit jiwa yang subur bahkan merangsek jauh merusak kesehatan fisik. Banyak yang mati karena sakit jantung dan penyakit degeneratif lainnya ditengah-tengah kemewahan semu. Banyak yang tadinya hidup bahagia dalam kondisi ekonomi sederhana secara “instant” ingin jadi orang super kaya. Tapi setelah kekayaan itu mereka dapatkan malah merasa kesepian karena tidak punya lagi teman yang sejati dan berhati tulus. Ternyata rumah dan sejumlah kendraan mewah diperoleh dari cara pintas yang haram (menyengsarakan orang banyak) tak bisa dinikmati setelah ketahuan. Malahan akhirnya mereka harus bersembunyi sana sini seperti seekor tikus ketika dikejar kucing, sementara teman-teman yang dulu dekat karena suap menjauh seolah tak kenal lagi. Semua menyelamatkan diri sendiri.

Tapi apakah kita harus berputus asa? Jawaban tidak. Masih banyak dari orang Indonesia yang berjumlah lebih dari seperempat milyar ini yang berhati mulia tetap menggunakan akal budi yang dianugerahkan Sang Pencipta. Saya percaya mereka telah mencapai tahap perkembangan moral tahap teratas. Bacalah status-status di jejaring sosial yang prihatin dengan kondisi moral anak bangsa. Akan tetapi mereka berjalan sendiri belum ada wadah yang mempersatukannya untuk menciptakan gerakan moral dashyat untuk memperbaiki keadaan.

Bila wadah persatuan orang-orang bersih itu telah tercipta maka yang harus mereka lakukan menurut saya antara lain adalah:

- membuat suatu konsep peraturan/perundangan terperinci yang bisa ditafsirkan hanya dalam satu arti (tidak seperti saat ini setiap aturan bisa diartikan macam-macam tergantung kepentingan yang menggunakan)

- menutup celah pada peraturan/perundangan (yang diciptakan rejim terdahulu agar mereka bisa menyeleweng dari rel yang benar) sehingga tak ada yang bisa berkelit lagi dengan alasan legalitas

- mengkampanyekan agar setiap anggota keluarga berani menegur anggota keluarga lain yang secara moral menyimpang dan tidak takut mempertanyakan perbuatan anggotanya itu, misalnya mempertanyakan dari mana penghasilan yang besar, padahal secara resmi gaji mereka tidak sebesar penghasilannya itu.

- mengajak masyarakat untuk mengucilkan orang-orang yang tidak bisa membuktikan asal hartanya secara terang benderang dan berani menuntut para pejabat yang curang dan melakukan penyelewengan.

- Sebaliknya memberikan penghargaan dan penghormatan pada mereka yang berhasil mempertahankan integritas moralnya apapun pekerjaan atau jabatan yang mereka lakoni.

- mendorong anak-anak muda yang “masih bersih” untuk peduli dengan perkembangan bangsa .

- melalui pendidikan menanamkan kepada generasi muda agar tetap percaya diri dan tak tergantung pada nilai-nilai materi yang melekat pada kehidupan mereka. Yakinkan bahwa materi itu alat untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Manusia adalah pengendali materi bukan sebaliknya dikendalikan oleh materi.

- Bangun “Indonesian Dream” yang elok dan beradab yang sesuai karakter dan keadaan masing-masing wilayah, misalnya daerah Sumatera Barat Indonesian Dreamnya adalah orang muda yang sukses berdagang dangan cara jujur, daerah Jawa Barat adalah anak muda yang sukses bertani sekaligus menyuburkan lahan-lahannya, di Nusatenggara adalah anak muda yang sukses mengolah hasil laut tanpa mencemari lautnya, begitu pula masing-masing daerah lain.

Tangerang, 26 Maret 2010

Tidak ada komentar: