Rabu, 14 April 2010

MAU DIBAWA KEMANA PENDIDIKAN KITA

Alhamdulillahirrobula’lamin akhirnya selesai sudah anakku mengikuti Ujian Nasional (UN) SMPnya. Hasilnya masih menunggu minggu-minggu pertama bulan Mei mendatang.Harapanku dia berhasil lulus dengan nilai yang cukup untuk memasuki sekolah yang terbukti berkualitas dan mendidik murid-muridnya dengan cara yang jujur. Aku percaya hanya dengan modal kejujuran itu anakku akan selamat di dunia dan di akhirat nanti.

Aku jadi teringat beberapa bulan yang lalu ketika awal-awalnya dia kelas III (kelas 9), hampir tiap hari aku nyinyir seperti nenek-nenek bawel supaya diamembaca dan mengulang pelajaran sekolahnya agar dia lulus pada UN yang tidak lama lagi. Tapi dia dengan super yakin menjawab “tenang aja bu, pasti lulus”. Aku tetap ngeyel “yakin amat sih, gimana bisa lulus kalau tidak pernah membaca dan mengulang pelajaran, sepintar-pintarnya orang ya tetep harus mengulang pelajarannya nak”.

Lama-lama aku capek juga dan pasrah membiarkan dia dengan pola belajarnya karena aku yakin sebenarnya anakku pintar tapi belum bertemu sesuatu yang “klik” membuat dia lebih rajin. Tapi suatu hari kutanyakan lagi mengapa kok dia bisa begitu yakin lulus tanpa persiapan belajar dan terngangalah mulut dowerku ini. Jawabnya “ bu aku dengar dari kakak-kakak yang telah lulus bahwa anak kelas tiga itu pasti ntar dikasih bocoran soal-soal UN jadi tenang saja aku pasti lulus”. “Wah kalau itu benar sungguh menyesal ibu menyekolahkan kamu di situ, dulu ibu berpikir dengan sekolah berlandaskan agama anak ibu akan dididik dengan penuh kejujuran, tapi ternyata tidak”. “Nak kalaupun itu benar janganlah kamu berharap lulus dengan jalan seperti itu, ayah ibu pasti kecewa”.

Satu dua bulan setelah percakapan aku di atas aku mendengar berita yang melegakan bahwa DEPDIKNAS kalah dalam persidangan gugatan pihak-pihak yang tidak setuju UN. Namun sekali lagi aku kecewa ternyata DEPDIKNAS tetap ngotot banding ke MA agar UN tetap dilaksanakan. Banyak orang yang mempertanyakan mengapa nasib seorang anak harus ditentukan oleh hasil ujian bertipe ‘multiple choice’ dari beberapa mata pelajaran hanya dengan alasan agar negara mempunyai data standar pencapaian pendidikan di seluruh wilayah. Apakah tidak ada cara lain untuk mengukur pencapaian itu? Aneh bin ajaib memang para pemimpin bangsa ini dari dulu sampai sekarang selalu memaksakan kehendak pada rakyat yang dipimpinnya.

Dengan segala keterpaksaan akhirnya banyak sekolah yang memang belum bisa mencapai standar yang ditentukan penguasa itu melakukan segala cara yang sebenarnya bertolakbelakang dengan tujuan awal pendidikan itu sendiri. Mereka tentu tidak bersedia kehilangan pemasukan dan murid-murid bila jumlah kelulusan siswanya akan menyebabkan akreditasi menurun (ini untuk sekolah swasta) atau para guru tidak mendapatkan sertifikat kelaikan mengajar (untuk sekolah negri). Pemilik yayasan dan guru-guru mengorbankan hati nurani mereka sendiri dengan membocorkan jawaban soal-soal UN itu kepada murid-muridnya. Kebocoran itu banyak tapi sulit membuktikannya karena tentu saja bila ditanya para murid tidak akan menjawab iya. Tentu mereka tidak rela bila guru-guru mereka yang telah “baik hati” itu terkena sanksi, sehingga secara berjamaah akan menjawab bahwa tidak ada kebocoran jawaban soal-soal UN. Hasil seperti itulah yang akan dipakai pemerintah. Bila angka kelulusan tinggi mereka akan bangga menyatakan bahwa standar pendidikan Indonesia baik padahal dihitung dari alat ukur yang tidak memenuhi kaidah ilmiah.

Masukan dari berbagai pihak yang berkompeten di bidang pendidikan telah banyak tapi para petinggi DEPDIKBUD seolah tidak peduli. Mereka bersikukuh dengan pendapatnya bahwa merekalah yang benar. Mengapa mereka tidak berpikir ulang bahwa hasil yang diperoleh adalah semu? Mengapa juga harus dipaksakan dari Sabang sampai Meuroke dari Miangas sampai Pulau Rotte punya standar yang sama? Bukankan ini sama saja dengan prinsip komunis namanya sama rata sama rasa.

Banyak cara lain kalau pencapaian pendidikan itu hendak diukur, banyak sekali peneliti-peneliti super cerdas dan handal di negeri ini bisa melakukan survey/penelitian yang akan menghasilkan output yang lebih valid dan terpercaya dibandingkan UN. Ataukah hal ini terjadi sejalan dengan kecurigaan (lagi-lagi aku jadi paranoid melihat carut marut pendidikan Indonesia) bahwa pemerintah tetap “ ngotot dan kekeuh” melaksanakan UN karena menyangkut “ kepentingan” banyak pihak yang memiliki posisi tawar yang tinggi di negri ini. Mudah-mudahan kecurigaan saya ini “ngaco” dan tak beralasan.

Dari pada memaksakan UN mengapa bukan kualitas dan kuantitas tenaga pengajar di setiap sekolah yang di tingkatkan. Pasti lebih baik menyusun kurikulum yang ramping dan lebih terintegrasi dengan faktor penunjang peningkatan “life sklill” daripada memaksakan kurikulum gendut yang menjadikan otak anak didik seperti sebuah tong sampah maha besar untuk menampung semua hal dalam waktu terbatas.

Sebenarnya banyak sekali pakar pendidikan yang mengingatkan bahwa sistem pendidikan kita ini telah salah jalur. Aku masih ingat keluhan Prof. Slamet Imam Santoso (Bapak pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, semoga amalannya dibalas Allah berlipat-lipat) saat sempat berbincang-bincang suatu hari bahwa pendidkan jaman Belanda itu jauh lebih baik. Dan itu benar sekali. Ibu saya yang hanya sampai kelas IV sekolah Rakyat jaman Belanda jauh lebih pintar berhitung daripada anak saya yang hampir tamat SMP.

Mengapa pula baru di tingkat SD saja sudah disesaki berbagai bahan pelajaran, bukankah setingkat itu yang paling diperlukan adalah KEPANDAIAN MEMBACA, MENULIS DAN MEMAHAMI KONSEP BERHITUNG DASAR? Bagaimana akan mengerti pelajaran Kimia dan Fisika di sekolah lanjutan apabila pengertian bentuk-bentuk bangun dan teori berhitung dasar yaitu operasi kali, bagi, tambah dan kurang di tingkat SD saja belum dipahami. Mau dibawa kemana pendidikan kita?

Sudahlah para pejabat tolonglah berlapang dada, dengarlah pakar-pakar pendidikan yang tidak hanya pandai retorika dan teori tapi telah membuktikan bahwa mereka berhasil melahirkan orang-orang hebat dan disegani di negri ini (seperti bapak Arief Rahman yang terhormat). Dan tolong pula dengar jeritan hati kami para orang tua yang berharap anak kami bisa memperoleh ‘ketrampilan hidup” yang mumpuni sehingga mereka selamat dunia akhirat. Berhentilah memaksakan pendapat setelah bukti-bukti pendapat itu salah dan telah dibeberkan pula di muka pengadilan. Berpikirlah lebih komprehensif dan lebih logis, turunlah ke be bawah dan dengarlah suara-suara yang lebih jernih dan lebih murni. Mengapa juga anak-anak yang akan meneruskan kepemimpinan anda dibiarkan menghabiskan waktunya di sekolah tanpa jelas apa yang akan mereka perbuat untuk bangsa dan negara ini di masa yang akan datang.

Salam dan terimakasihku untuk para pendidik yang masih berdedikasi dan benar-benar memperkaya akal nurani dan ketrampilannya untuk BENAR-BENAR MENDIDIK SISWANYA bukan hanya sekedar mengajarkan pelajaran sesuai jumlah jam yang diwajibkan kepadanya.

Tangerang, 3 April 2010

Tidak ada komentar: