Jumat, 30 April 2010

Generasi Penerus

Terus terang tulisan ini aku buat terinspirasi oleh salah satu keponakan yang meng’add’ aku di salah satu situs jejaring sosial. Kaget ‘sih’ karena tak menyangka dia menjadikan aku salah satu temannya. Terus terang aku agak minder dengan para keponakan aku sendiri yang aku pandang jauh lebih bonafit dan pintar dari diriku.
Masih terngiang-ngiang dan terbayang bagaimana para keponakanku dulu berebut perhatian ketika mereka berkunjung ke rumah dimana aku tinggal bersama ande (ibu alias nenek mereka). Aku adalah tante pengais bungsu bagi mereka. Tante terkecil tak bakal bisa mereka andalkan masalahnya dia juga seperti anak kecil terus karena dia adalah penyandang tuna grahita yang malah selalu meminta perhatian lebih dari sekelilingnya.
Sisca dia adalah ponakan tertua anak abang no. 6, super aktif dan cerewet . Kalau menanyakan sesuatu pasti terus sambung menyambung. Aku bilang kamu kalau nanya “sepanjang tali boruak” (boruak sejenis monyet pengambil kelapa di kampung asal kami, yang diikat dengan tali super panjang bila mengambil kelapa). Tidak jauh berbeda dari sifat aslinya yang suka bertanya sekarang malah berprofesi sebagai “host” tetap acara jalan-jalan di sebuah stasiun Televisi swasta.
Amalia anak kedua kakak perempuan ke 4 lain lagi, sejak kanak-kanak sudah terlihat sangat berani dan nekad. Bayangkan umur 9 tahun sudah bisa melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan kendraan umum tanpa menyasar dari Pondok Labu Jakarta Selatan ke Tanah Abang Jakarta Pusat. Sifatnya keras kepala sehingga apa yang diinginkan harus dapat walaupun sudah ‘disewotin’ oleh orang sekelilingnya. Sekarang telah memiliki seorang anak tampan berumur satu tahun dari sang suami tercinta berkewarganegaraan Turki. Dia dengan berani berpisah dari anggota keluarga lain dan menetap di negara suaminya. Yang paling mencengangkan adalah perubahan kehidupan dari seorang tomboi yang tidak menunjukkan minat pada tugas-tugas stereotip perempuan menjadi ibu dan istri yang sangat profesional berkutat pada tugas-tugas pengelolaan rumah tangga.
Festi (anak pertama abang ke 5) lain lagi sejak kecil berbadan bonsor tapi sangat cekatan. Umur 9 bulan saja sudah pintar bernyanyi dan mengoceh lucu. Sudah dari muda memiliki sikap kritis dan cerdas tapi rasa sosialnya juga tinggi. Geli membayangkannya ketika berusia usia 3 tahun dia ikut sibuk membantu mencuci piring di rumah nenek di kampung halaman kami.
Reza (anak bungsu kakak nomor 4) lain lagi, selain kolokan, nakalnya minta ampun. Pernah aku ditonjok gara-gara aku tidak menepati janji untuk membawanya jalan-jalan. Sekarang sudah mahasiswa dan sudah punya pacar pula. Yang jelas sekarang sifatnya jauh lebih kalem.
Keponakan dari kakak tertua malah hampir seumuran dengan aku dan mereka sudah sibuk dengan bisnis masing-masing . Ketika masih kanak-kanak aku dan mereka seolah teman-teman seusia saja. Kami berasal dari generasi yang setara. Untuk meraih cita-cita harus dengan usaha keras dan kemandirian yang besar pula. Secara ekonomi jauh melampaui aku, tapi kuakui karena semangat mereka yang tidak cepat kendor seperti aku jadi wajar bila kemajuan itu mereka raih.
Kebetulan sekali aku berasal keluarga besar (12 orang bersaudara). Kalau dihitung semua keponakan dan anakku sendiri berjumlah 29 orang. Anak-anak kakakku sudah punya anak pula sehingga sekarang aku telah menjadi nenek dari sekian banyak cucu. Kalau semua berkumpul diperlukan satu aula yang sangat besar atau lapangan hijau yang cukup luas agar suasana berkumpul menjadi nikmat. Syukurlah aku diberi kesempatan oleh Allah melihat dan meyaksikan perkembangan generasi penerus keluarga kami.
Masih segar dalam ingatan betapa sibuknya aku ketika membawa 4 ponakan yang masih imut-imut naik metromini menuju satu mal yang baru dibangun jaman itu untuk bermain. Sebelum berangkat mereka harus menerima ‘ultimatum’ dulu dari aku yaitu tidak boleh minta macam-macam dan rewel diperjalanan kalau tidak mereka akan aku tinggal sama Satpam. Biasanya ultimatumku berhasil dan mereka semua patuh tidak seperti ketika bepergian bersama orangtua mereka sendiri. Yang pernah menikmati perjalanan bersama aku ini adalah anak-anak abang ketiga dan kakak keempat karena jumlah mereka memang lebih besar dibanding anak-anak kakak yang lain.
Sekarang semua mereka sudah dewasa sebagian besar telah bekerja dan bekeluarga dengan berbagai macam profesi. Terkadang terbayang olehku seandainya mereka bersatu membangun satu bisnis keluarga pasti bisa, karena mereka telah memiliki keahlian yang mumpuni untuk membangun suatu perusahaan. Aku membayangkan satu bisnis keluarga yang besar dan bertahan hingga beberapa generasi seperti perusahaan-perusahaan besar di benua Eropa. Tapi yang lebih penting menurutku adalah mempertahankan rasa persaudaraan karena pertalian darah dan sikap yang saling peduli untuk saling membantu. Apalagi ada sepupu mereka yang telah yatim dan masih bersekolah yang tentu membutuhkan biaya. Mudah-mudahan yang lebih tua dan lebih berada tidak melupakan saudara-saudaranya itu.
Seperti ungkapan seorang teman ketika melihat foto aku bersama para keponakan “ kau memiliki generasi penerus berbeda”. Aku berharap mereka sukses dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Semoga mereka menjadi orang-orang yang bermartabat dan tidak melupakan akarnya.
Terimakasih kepada para keponakan, semoga kalian tidak tersinggung atau marah dengan tulisan ini. Ini hanya sekelumit kesan menyenangkan bergaul dengan kalian.

Tangerang. 30 April 2010

Tidak ada komentar: