Rabu, 14 April 2010

Sedikit Pemahaman Untuk Para Lansia Kita

Punggung melengkung, badan kecil menciut dan sekujur tubuh terlihat jaringan vena biru nyata dibalut kulit tipis keriput. Yang tak hilang adalah raut wajah manis dan garis-garis senyum di bibirnya. Dari tadi bolak – balik dari ruang tengah ke arah dapur. Terus terang jantungku kadang berdegub lebih kencang takut kalau- kalau kakinya tersandung dan terjatuh. Terkadang jalannya mulai melayang condong ke kiri dan ke kanan. Tapi bila dilarang bekerja wah bisa mengambek dan masuk ke kamarnya dalam waktu yang lama. Tunggulah sampai dia keluar sendiri dari kamar dan lupa dengan masalah sebelumnya. Keadaan akan baik-baik saja bila aku dalam kondisi sehat, tapi bila kondisiku sedang drop bisa berabe karena si nenek tetap ingin mempertahankan ritual kerja dapurnya mulai sejak selesai subuh sementara aku ingin kembali tidur karena tubuhku lemas. Beliau selalu ingin melakukan segala sesuatu seperti ketika kami anak-anaknya masih muda; tatkala beliau sibuk menyiapkan segalanya sendiri, tapi usianya yang telah sangat lanjut itu tentu tak memungkinkan keinginannya itu terwujud.
Hidup bergabung dengan orang lanjut usia di kota besar dengan irama yang sangat berbeda dengan kehidupan masa lalu mereka terus terang penuh problema. Disatu sisi sebagai anak yang menyayangi aku sadar bahwa tingkah ibu lansia itu harus dihadapi dengan sikap sabar dan welas asih. Namun di sisi yang lain kondisi kesehatan dan permasalahan yang aku hadapi sehari-hari kadang membuat aku sering merasa kehabisan oksigen sehingga kurang sabar menghadapi tingkahpolah tersebut. Berbeda dengan kaedah umum dimana seorang nenek lansia akan bersikap manja dan tergantung pada pertolongan anggota keluarga lain, sebaliknya ibuku terlalu mandiri dan selalu ingin melayani orang tapi kekuatan fisiknya tentu tidak memungkinkan terus bekerja. Konflik timbul karena irama kehidupan aku sekeluarga yang agak santai jauh berbeda dengan situasi ibu dulu yang selalu sibuk mengurus keluarga besarnya.
Walaupun aku bersaudara cukup banyak tapi ibu lebih betah tinggal bersamaku mungkin karena aku anak perempuan dan hanya punya satu orang anak jadi beliau merasa tidak perlu menyesuaikan diri dengan banyak orang. Dengan kakak yang lain beliau merasa kurang cocok padahal dari segi fasilitas fisik jauh lebih memadai daripada di rumahku. Ada saja alasan beliau untuk tidak lama-lama di rumah kakak-kakakku. Sering alasan itu tidak bisa diterima akal sehatku karena hanya khayalannya belaka, seperti kamar yang ditempatinya akan dipakai oleh salah satu cucunya padahal jelas-jelas kamar itu dibangun khusus untuk beliau sedangkan cucunya telah punya kamar sendiri.
Bila tidak saling memahami tingkahlaku dan ungkapan-ungkapan lansia seperti itu bisa dipastikan sering akan terjadi percekcokan antar keluarga (antara kakak adik atau anak dan para mantu para lansia itu). Berdasarkan pengalaman pribadi dan cerita teman-teman yang kebetulan juga tinggal bersama orang tua atau kakek-nenek lansia, aku pikir sudah saatnya kita lebih memahami dan melakukan perencanaan untuk menghadapi masa-masa tersebut. Perencanaan menghadapi masa itu perlu demi kebahagiaan lansia juga anggota keluarga lainnya.
Apalagi disinyalir jumlah lansia (di Indonesia khususnya) semakin banyak. Menurut Data Departemen Sosial diperkirakan tahun 2010 ini 23juta jiwa dan akan menjadi lebih 28 juta jiwa pada tahun 2020 (sumber: http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/jumlah-lansia-di-indonesia-16,5-juta-orang/)
Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus. (http://ilmupsikologi.wordpress.com/2009/12/11/psikologi-lansia/)
Menurut Erik H. Erikson dalam Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), lanjut usia itu terletak pada tahap ke delapan perkembangan psikososial yang terjadi pada usia sekitar 60 atau 65 ke atas dimana dalam usia itu terjadi konflik antara Integritas dan Keputusasaan. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri (http://www.scribd.com/doc/17153789/erikeriksoi)
Integritas itu paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda, orang-orang, produk-produk dan ide-ide, serta setelah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupannya. Lawan dari integritas adalah keputusasaan tertentu dalam menghadapi perubahan-perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi-kondisi sosial dan historis, ditambah dengan kefanaan hidup menjelang kematian (http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/02/18/perkembangan-psikososial-masa-dewasa-akhir/).
Walaupun menurut data ada yang terlantar sebanyak 2,7 juta lansia kondisinya telantar dan rawan terlantar sebanyak 4,5 juta http://nasional.kompas.com/read/2009/10/19/09344610/Wow..Tahun.2020.Lansia.di.Indonesia.Akan.Capai.28.8.Juta) namun secara umum sampai saat ini kita orang Indonesia masih menghormati orang tua dan menjaga mereka di rumah anggota keluarga yang ada semisal anak atau cucu mereka.
Tapi terkadang kita kurang menyadari bahwa mereka juga masih ingin diakui eksistensinya dan masih ingin memiliki kebebasan secara fisik dan materi . Untuk itu sebaiknya sebelum kita mencapai lansia harus mempersiapkan diri baik materi ataupun kejiwaan. Materi tentu dari menyisihkan penghasilan sewaktu masih produktif serta menjaga kesehatan fisik sehingga bisa tetap aktif dan mandiri di masa lansia. Secara kejiwaan tentu segera menyadari dan meninggalkan sikap dan sifat-sifat buruk atau yang berlebihan ada pada diri. Misalnya melatih kesabaran, membuang obsesi yang sulit dicapai dan meningkatkan kualitas spiritualitas dengan mempelajari agama masing-masing lebih mendalam.
Sedangkan bagi kita yang masih memiliki orang tua lansia. Bila anggota keluarga berkemampuan ekonomi yang kuat sebaiknya lansia itu dibangunkan rumah yang menyatu atau berdekatan dengan salah satu/banyak anggota keluarga yang lain, sehingga mereka tetap merdeka dengan kemauannya karena berada di rumah sendiri tapi tetap dibawah pengawasan anggota keluarga yang berdekatan. Dengan kata lain masing-masing bebas dengan kebiasaannya. Untuk anggota keluarga lansia sering-seringlah mengunjungi mereka karena hubungan silatuhrahm itu pasti akan menggembirakan karena lansia merasa tetap mendapat perhatian lingkungannya.
Tip dan trik yang ditulis seorang blogger perempuan berikut ini rasanya juga cukup membantu lansia menikmati hidup yang bahagia.
Pertama, Sebelum bad mood datang, perhatikan apa kesenangan dan kebutuhannya, bisa juga menanyakan apa yang sangat diinginkan. Namun juga siap-siap berbesar hati jika telah berusaha atau sudah memenuhi kesenangan dan kebutuhannya, lansia seolah-olah tidak begitu butuh atau bahkan memenolak menerima sesuatu yang diminta tadi telah dihadirkan.
Kedua, cermat dalam mencerna apa yang sedang dibicarakannya, seringkali keinginan itu tak tersampaikan secara jelas, berputar-putar. Jadi ambil kata kucinya. Misalnya dalam ungkapan “Saya diundang ke keraton, sekarang di keraton ada pesta, semua abdi dalem diundang, akan banyak yang hadir dan ada buah anggur di sana”, berarti ini menandakan anggur adalah yang diinginkan. Tunggu dan lihat perubahannya ketika anggur itu sudah dihadirkan.
Ketiga, baik menciptakan kebersamaan dalam satu kesempatan, untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sendiri atau rasa terpinggirkan. Misalnya makan bersama, menemaninya pada saat akan tidur, membacakan ayat suci al-quran (bagi yang muslim) dan sebagainya. Ini untuk membangun rasa bahwa diri lansia (yang umumnya seperti merasa tak bisa lagi berarti) masih dianggap dan diperhatikan.
Keempat, fasilitasi lansia dalam sebuah komunitas atau tempat berkumpul dimana lansia dapat turut bergabung. Yang saya dapati adalah lansia terlihat tak seperti biasa, atau tiba-tiba seperti punya energi ketika dirinya mengetahui akan ada kegiatan dirumahnya atau mendapatkan undangan kumpulan;pengajian rutin yang diadakan tiap bulannya.
Kelima, hadirkan sesuatu yang bisa membuat lansia bercerita tentang pengalaman hidupnya. Ini bisa menjadi obat rindu dan cukup membahagiakannya. Ada cerita diperoleh tanpa sengaja. Waktu itu beliau mendekati lap top, karena terdengar oleh beliau lantunan ayat suci al-quran dari computer jinjing. Saat mendekat, Microsoft Work Word Processor baru saja diminimize, jadi terlihatlah oleh beliau wallpaper bergambar Ka’bah dan jamaah yang berjibun di sekitarnya. Beliau berkata “Tahun 2000 saya ke sana” dan seterusnya. Cerita beliau berlanjut dan cukup panjang. Soal pengumpulan ongkos, suami tercinta beliau, kejadian apa saja yang di alami di tanah suci, hingga muncul kisah yang mengesankan.
Taukah kau kawan, beliau hanya butuh didengar dan sedikit direspon untuk pengalamannya. Beliau pun tersenyum 12 jari dan tampak bahagia juga ketika melihat photo beliau di 2004 (yang tak dimiliki beliau) ada dalam picture document “Itu ketika saya masih muda, heeee…” kata beliau dengan senyum luasnya. Selain melalui photo, hal lain yang bisa menjadi alternatif adalah jalan-jalan ke tempat dimana dulu lansia berutinitas atau sekedar transit. Misalnya; pasar, stasiun. Lalu, bila memungkinkan bersama menaiki alat transportasi yang juga sering ia gunakan dulu; kereta api, becak, andong dan sebagainya
Sepertinya, hal-hal seperti inilah yang baik untuk sering di munculkan bagi para lansia. Membuka memori soal pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dalam hidupnya. Sebaliknya, jauhkan beliau dari sesuatu yang bisa menghidupkan ingatan buruknya. Misalnya perlakuan buruk atau betapa tak bertanggungjawabnya orang lain terhadap dirinya.
Syahdan, hal-hal tersebut seperti memberikan kepuasan, energi baru dan membebaskan tekanan rasa yang dimiliki beliau. Sedangkan peristiwa yang sangat buruk terjadi berlulang-ulang di masa lalunya dapat seketika menganggu psikologisnya, tentu juga berimbas kepada laku.
Kawan, tampak olehku bahwa kebutuhan bereksistensi juga masih ada dalam diri lansia, meskipun hanya melalui kisah nyata masa lalu yang diperdengarkan pada kita (Handayaningrum http://perempuannya.wordpress.com)

Sekelumit bahasanku tentang lansia berdasarkan pengalaman pribadi dan terimakasih kepada narasumber yang telah memperkaya pengetahuanku. Semoga ada mamfaatnya.

Tangerang, 13 April 2010

Tidak ada komentar: