Senin, 19 April 2010

Walaupun Hanya Di Dapur Tetaplah Cerdas Para Wanita




Waktu berlalu begitu cepat lebih 130 tahun sejak Raden Ajeng Kartini penggagas emansipasi wanita yang diakui sebagai salah satu pahlawan lahir (Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini) memang banyak perubahan pada wanita Indonesia. Terlepas dari pro dan kontra tentang peranannya bagaimanapun dapat diambil hikmah bahwa kemauan dan kepandaian Kartini membaca telah mencerahkan sebagian wanita di negara ini.
Kemajuan wanita Indonesia bisa kita saksikan di mal-mal atau gedung-gedung pencakar langit di kota-kota besar khususnya di Ibukota Jakarta. Lihatlah dengan pakaian minimalis atau tertutup rapat mereka tampil modis dan wangi semerbak. Sambil menenteng laptop atau sedang memainkan keypad telpon genggam yang canggih mereka berwara-wiri penuh kesibukan semuanya melambangkan ke’moderen’an dan kemajuan jaman.
Tapi dibalik gedung-gedung dan kemewahan kota-kota besar jauh lebih banyak wanita yang terpuruk dengan nasib yang serba berkekurangan. Tiap hari mereka bergelut memperjuangkan hari demi hari untuk keberlangsungan kehidupan keluarganya. Lihatlah pagi dan sore di dalam bis berpuluh-puluh wanita berdesak-desakan untuk ulang-alik ke tempatnya mencari nafkah, tak sedikit mereka yang sedang buncit perutnya karena hamil juga harus bergelantungan “ngap-ngapan” di senggol ke kanan dan ke kiri. Lihat pula di pusat-pusat perdagangan betapa banyak wanita yang harus tetap berdiri berjam-jam melayani atau sekedar menjaga barang dagangan yang diamanatkan kepada mereka demi mendapatkan kurang lebih 25ribu rupiah gaji harian dari majikan yang menugaskan mereka.
Kita tengok jauh dari ibukota, betapa tragis nasib para perempuan di tambang-tambang timah rakyat kepulauan Bangka Belitung. Mereka harus terpapar dengan biji-biji timah dan paparan air pendulang timah itu dari terbit matahari hingga tenggelamnya diufuk senja. Sementara hasil yang mereka peroleh tidaklah seberapa dibandingkan harga timah yang membubung tinggi di pasaran dunia. Nasib yang tidak lebih baik juga dialami para buruh di pabrik-pabrik, upah minimum yang mereka dapatkan tidak pernah benar-benar bisa dinikmati (bahkan untuk sebagian yang lain untuk yang minimum saja juga tidak mereka terima). Bagaimana tidak upah yang mereka peroleh tak akan mungkin mengejar kemahalan hidup yang selalu naik setiap saat.
Barangkali yang lebih membuat miris adalah perlakuan terhadap tenaga kerja wanita yang berpayah-payah di negri nun jauh di sana. Demi devisa katanya dari rezim ke rezim “kebijaksinian” pengiriman tenaga kerja wanita yang minim ilmu dan ketrampilan ini tetap dilanjutkan. Syukur bila mereka memperoleh gaji yang memadai dan majikan yang welas asih. Tapi masih sering kita dengar akhirnya mereka pulang ke Indonesia dalam keadaan lebam karena bogem mentah sang tuan atau nyonya bahkan pulang dalam keadaan “gila” atau paling parah pulang dalam keranda atau nama saja.
Jika RA Kartini dahulu bisa mencurahkan kesepian dan kegelisahannya kepada teman-teman “londo”nya di Eropah sana karena kecerdasan otak, kepriyayian dan kesempatan yang luas menimba ilmu dari buku-buku yang ada di istana keluarganya, bagaimana dengan nasib wanita kebanyakan sampai masa sekarang, seabad lebih dari kelahiran beliau?
Menurut saya yang juga bodoh dan awam ini, daripada wanita yang telah maju hanya bersibuk diri dengan seminar sana dan sini mengenai emansipasi dan kesamaan hak antar gender, alangkah lebih baik mereka yang telah memperoleh kelebihan rizki dan kecerdasan itu bertindak lebih aktif di dunia nyata. Seperti yang dilakukan ibu kembar (Ibu Rosi dan Ibu Rian) yang mendidirikan sekolah Kartini untuk mendidik anak-anak pemulung.
Melalui media yang ada terutama televisi yang telah mencapai pelosok digiatkan acara-acara penyuluhan agar wanita seluruh Indonesia ini melek huruf dan bacaaan daripada mereka hanya disuguhi acara hiburan dan sinetron saja yang tidak membumi dan tidak meningkatkan ilmu pengetahuan. Kementrian Informasi dan Pemberdayaan wanita seharusnya bisa “memaksa” media massa memberikan jatah jam tayang acara-acara yang akan memajukan wanita seluruh Indonesia. Kegiatan PKK dan Posyandu digiatkan kembali untuk memberi pelatihan praktis kepada para wanita dalam memberdayakan diri mereka. Majlis-majlis taklim yang lebih banyak diikuti para ibu itu juga bisa meningkatkan kemampuan wanita dengan menyiapkan kegiatan yang mengharuskan mereka membaca bacaan yang bermamfaat untuk kehidupan mereka sehari-hari, selain tentunya ilmu Al Qur’an dan Hadis yang memang wajib untuk dipahami oleh para muslimah itu.
Bila semua wanita yang lebih cerdas mencoba mencari lebih banyak informasi maka akan kagetlah mereka karena banyak di antara para ibu yang ada di ibukota ini yang masih buta huruf atau walau pandai membaca mereka tidak pernah membaca lagi setelah tamat sekolah dengan alasan kesibukan mengurus rumah tangga.
Hendaknya para penggiat wanita atau para wanita yang telah dipercaya untuk memimpin kaumnya selalu mengingatkan para wanita lain untuk tetap mencari ilmu dan rajin membaca. Pameo kuno yang menyatakan bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti mereka tetap ke dapur juga jangan dijadikan alasan lagi untuk tidak meraih pendidikan yang setinggi mungkin karena wanita adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jangan remehkan lagi pedidikan bagi kaum wanita karena dari merekalah akan lahir generasi penerus yang lebih brilian dan beradab mulia.
Selamat Hari Kartini bagi yang merayakannya semoga wanita Indonesia lebih cerdas dan berharga dan tidak lagi hanya dikenal sebagai pembantu rumah tangga semata di negri tetangga.
Tangerang. 19 April 2010
Sumber :
http://www.vienka.com/2010/04/biografi-r-a-kartini.html;
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-ra-kartini.html; http://hurek.blogspot.com/2007/08/ketegaran-ibu-kembar-sekolah-darurat.html

Tidak ada komentar: