Minggu, 16 Mei 2010

Sekali Lagi, Mau Dibawa Kemana Pendidikan Kita??

Melanjutkan tulisan saya terdahulu, Alhamdulillah akhirnya anak saya dinyatakan lulus Ujian Nasional SMP. Kelegaan sementara meliputi tapi tidak beberapa lama hati terasa nelangsa dan kecewa setelah melihat nilai-nilainya yang tercantum di situs Depertemen Pendidikan DKI Jakarta. Nilai rata-ratanya hanya sedikit di atas angka 7, sudah terbayang sempitnya peluang dia diterima di SMA unggulan di dekat kami berdomisili. Sebagai orang tua saya tidak ingin dia bersekolah jauh dari rumah karena membayangkan berapa banyak waktu yang harus dihabiskannya dibelantara kemacetan lalu lintas jalanan ibukota, belum lagi besarnya kemungkinan terlibat atau terkena dampak tawuran yang sering terjadi dikalangan siswa SMA.

Kekecewaan ini tidak saya pendam lama ketika teringat doa-doa yang saya panjatkan berhari-hari pada malam sebelum dan selama ia mengikuti UN . Inilah permintaan saya pada Ilahi “Ya Rabb, Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang , Egkaulah yang MahaTahu dan Maha Kuasa atas semua yang gaib, anakku sedang menghadapi ujian akhir SMPnya, tolong mudahkanlah dia mengingat pelajaran dan menjawab soal-soal ujiannya, luluskanlah dia dengan nilai yang terbaik yang bisa dia capai dan mudahkanlah dia mendapatkan pendidikan lanjutan yang baik untuk kehidupan dia dan kami orang tuanya di dunia dan akhirat. Ya Rabb aku tengah cemas dengan ketidakjujuran yang terjadi saat ini, aku memohon kepada Engkau untuk melindungi anakku dari lingkaran ketidakjujuran itu....Ya Allah Tuhanku yang Maha Pengasih dan Penyayang kabulkanlah permohonan hambamu yang lemah ini ...Amin”. Kenapa saya cemas dengan ketidakjujuran? Seperti tulisan sebelumnya saya telah mendengar bahwa banyak sekolah akan membocorkan jawaban soal-soal UN itu demi citra sekolahnya atau alasan lain. Info kebocoran itu tidak hanya berdasarkan laporan anak saya tapi juga ibu-ibu lain yang tahun sebelumnya anaknya mengikuti UN juga. Saya tidak rela bila dia lulus karena itu bukan dari hasil usahanya sendirinya berapapun tinggi nilainya. Tidak munafik saat pertama melihat nilai itu sebagai ibu saya mengomel dan nyap-nyap juga.

Pada saat UN itu berlangsung saya selalu bertanya apakah dia dapat bocoran. Ternyata benar dia mendapatkannya tapi katanya dia tidak menyalin jawaban hanya setelah keluar kelas dia mencocokkan dengan jawabannya “Wallahualam” saya tidak terlalu pasti dengan kejujuran anak saya, tapi saya selalu wanti-wanti agar dia berusaha menjawab sendiri walaupun diberi bocoran. Saya katakan buat apa nilai tinggi kalau itu bukan kemampuan kita yang sebenarnya. Saya tidak mau reseh, biarkan sajalah sekolah melakukan itu, info tersebut cukup menjadi rahasia umum saja. Saya hanya ingin anak saya tidak lagi terjerumus masuk ke sekolah yang tidak istiqomah dengan nilai-nilai pendidikan yang mendasar seperti yang diimpikan Ki Hajar Dewantara. Makanya saya tidak lagi kecewa dengan nilai yang pas-pasan itu, saya realistis itulah nilai terbaik yang sesuai dengan usaha yang dikhtiarkan anak saya. Saya hanya bisa menasehatinya agar di masa depan lebih rajin dan berusaha lebih keras belajar karena saya sebagai ibu tahu bahwa dia tidak bodoh tapi hanya kurang usaha dan motivasi saja. Saya sadar kalau seandainya dia memperoleh nilai lebih tinggi pasti tidak sesuai dengan pemahaman atas materi pelajaran tersebut. Semoga angka-angka yang diperolehnya akan menjadi lidi yang akan mencambuk dan melecut semangat belajar dan keingintahuannya.

Nah yang saya resahkan apakah sistem UN yang dilembagakan untuk keseragaman dan standarisasi itu tetap akan dipertahankan? Berapa banyak korban sia-sia yang akan lahir dari sistem konyol ini. Bayangkan waktu untuk mendidik anak-anak itu untuk memahami materi pasti berkurang banyak karena setelah kelas tiga, guru-guru lebih fokus pada kegiatan mendrilling siswa agar mampu menjawab soal-soal yang akan diujikan pada saat UN daripada memberi pemahaman yang lebih intens pada materi yang harusnya dikuasai oleh peserta didik . Anda bisa membuktikan sekali-kali seberapa jauh sebenarnya pemahaman anak- anak setingkat SMP terhadap materi matematika dasar atau kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ajukanlah pertanyaan yang anda sangka mereka bisa menjawab. Saya pastikan anda akan mengurut dada karena banyak yang tidak mampu menjawab seperti perkiraan awal anda. Seandainya ada yang lulus dengan nilai yang sangat tinggi misalnya rata-rata di atas 9, apakah ini menunjukkan mereka paham dan mengerti pelajaran yang diujikan, saya yakin bahwa angka tersebut tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan pemahaman sesungguhnya. Kepesimisan ini tidak berarti saya menampik kenyataan bahwa memang ada siswa yang bernilai tinggi itu adalah siswa yang pandai dan paham

Yang aneh adalah informasi bahwa SMA-SMA Negeri unggulan di Jakarta (seperti SMAN 8, SMAN 70) mengadakan seleksi penerimaan tersendiri. Yang mereka terima berdasarkan nilai UN sebagian kecil barangkali hanya untuk prasyarat formalitas saja. Kalau benar informasi itu berarti sekolah-sekolah sendiri tidak lagi percaya hasil UN, jadi buat apa UN dipertahankan? Kalau hasilnya hanya pemborosan biaya saja. Mengapa dana itu tidak dialihkan untuk pembangunan prasarana dan fasilitas sekolah, karena banyak sekali sekolah yang tidak mempunyai sarana dan fasilitas yang memadai. Dengan sedih saya katakan kepada anak saya bahwa SMA tempat saya menimba ilmu yang jauh di Sumatera sana (tahun 1980an) jauh lebih bagus daripada salah satu SMANegeri Jakarta yang kami kunjungi.

Anehnya lagi menyaksikan dan mendengar di televisi Bapak M. Nuh (Meddiknas) berkata “jangan cemas dulu angka kelulusan mungkin akan meningkat setelah ujian ulangan” ketika menjawab pertanyaan wartawan kenapa kelulusan tahun ini menurun. Kalau memang diharapkan seperti itu buat apa UN , bukankah tujuannya semula untuk melihat seberapa jauh tingkat kemampuan peserta didik? Heran ya mengapa pemimpin-pemimpin ini begitu keras kepala alias kopegh mempertahankan sesuatu yang tidak jelas mamfaatnya dan seperti tutup mata dengan nilai UN abal-abal yang dihasilkan.

Rasanya lebih baik DEPDIKNAS mengolah hasil-hasil TRY-OUT yang diadakan sekolah sebelum UN karena hasilnya lebih murni menunjukkan kemampuan dan pemahaman peserta didik karena saat itu mereka tidak terbebani dan yang jelas tidak ada intervensi para guru untuk memark–up hasilnya. Nilai try-out itu lebih murni daripada nilai UN. Sudahlah Pak Mentri jangan bertahan lagi dengan sesuatu yang tidak jelas. Semoga ada perbaikan. Dan semoga Allah mengabulkan doa-doa saya.

Tangerang, 15 Mei 2010

Tidak ada komentar: