Minggu, 16 Mei 2010

“Seorang Juru Masak di Negeri Para Bedebah”

Pada suatu kala hiduplah seorang lelaki lebih dari paruh baya di sebuah negara bernama Negeri Para Bedebah. Sehari-hari dia dipanggil Bujang. Walau bernama Bujang dia bukanlah seorang bujang lapuk. Dia telah lama menikah bahkan telah beranak bercucu pula. Ditilik dari wajahnya memberi kesan di masa mudanya dia adalah seorang lelaki ganteng yang digilai banyak wanita. Hidungnya mancung, bulu matanya lentik dan rambutnya ikal tebal. Posturnya tegap dan tinggi. Pasti masa remaja banyak gadis yang bertekuk lutut padanya seperti bait lagu “sekali lirik oke sajalah”.

Bujang berasal dari sebuah desa yang indah, desa permai hijau dilekukan barisan bukit. Dahulu sebenarnya negaranya tidak bernama Negeri Para Bedebah. Hanya karena semakin hari semakin banyak penduduknya bertingkah seperti bedebah, tikus, curut, bangsat, monyet dan hewan-hewan yang suka disebut dalam sumpah serapah manusia, akhirnya negeri yang indah tenteram itu berubah nama menjadi negeri Para Bedebah.

Di masa kecil Bujang tinggal bersama kedua orang tuanya. Bapaknya dikenal sebagai tukang masak acara pesta perkawinan di kampungnya. Masakannya begitu enak sehingga setiap acara yang digelar apabila tukang masaknya adalah “sutan Batuah” panggilan bapaknya bisa dijamin tidak ada makanan bersisa terbuang sia-sia. Tapi profesi bapak ini pulalah yang membuat Bujang minggat dari kampungnya karena dia tidak tahan ejekan kawan-kawan kecilnya yang mengatai bapaknya padusi (perempuan) karena kelezatan masakannya yang mengalahkan kaum ibu di kampung yang sesungguhnya sangat dicintai Bujang.

Setelah berpetualang dari satu desa ke desa lain, dari satu kota ke kota lain, alkisah Bujang akhirnya terdampar di ibukota Negeri Para Bedebah. Dalam segala kesulitan hidup yang dialaminya Bujang tidak pernah meninggalkan bangku sekolah. Dengan kerja serabutan dan kalang kabutan dia menyisihkan sedikit demi sedikit uang hasil pencahariannya untuk melanjutkan pendidikannya. Rupanya dia menyimpan cita-cita besar menjadi seorang aktor dan seniman tampan yang akan terkenal di seluruh jagat raya. Dia ingin membuang jauh-jauh bayang-bayang kehidupan bapaknya yang telah membuatnya malu pada teman sejawatnya. Dia harus menjadi seorang aktor kondang yang akan terkenal karena kepiawaiannya dalam melakonkan peran yang disuguhkan sang sutradara. Namun di sudut hatinya yang paling dalam sebenarnya diam-diam berterimakasih pada bapaknya yang telah menurunkan jiwa seni dalam aliran darahnya. Hal itu disebabkan dia makin lama makin sadar bahwa kepiawaian memasak merupakan salah satu cabang kesenian juga.

Masa berganti tidak terasa mimpi yang dipendam lama terwujud juga. Bujang telah menjadi aktor terkenal. Kecanggihannya melakonkan peran ditambah bakatnya dalam menyusun kata-kata dan merangkai kalimat menjadi bait-bait puisi nan indah menambah pesonanya. Waktu itu negerinya belum sebedebah sekarang, memang banyak yang tidak disukainya tapi itu orang – orang tertentu saja yang bedebah.

Pada masa penggulingan penguasa yang selalu menekan suara-suara rakyat jelata Bujang ikut serta dengan cara membuat beratus kata yang diikatnya menjadi kalimat menggelora untuk memompa semangat mahasiswa dalam memperjuangkan perubahan. Berkat pertolongan Yang Maha Kuasa rakyat memenangkan pertarungan, situasi berubah. Suara yang terpendam sekarang begitu riuh rendah, sampai mana suara yang benar mana yang palsu bercampur aduk serupa degungan lalar busuk yang memekakkan gendang telinga. Bujang tergeletak dalam rasa putus asa dan kecewa. Bait puisinya yang indah tak lagi laku tenggelam ditengah hiruk-pikuk bahana suara lainnya.

Anak negeri yang tadinya minta tolong pada Yang Maha Kuasa semakin menjadi pelupa, mereka lalai dengan tugasnya memperbaiki negerinya, mereka sibuk memperebutkan tahta dan kuasa. Sifat buas kebinatangan merajalela. Rampok, curi, suap, perilaku korup bergentayangan dimana-mana. Siapa hakim siapa tersangka sudah tidak jelas bedanya. Rakyat jelata lapar dahaga ditengah penguasa kaya raya berlimpah harta. Bujang menangis teringat bapaknya di kampung sana. “Oh malangnya bapakku ditengah negeri para bedebah ini... apa yang akan dimasaknya apa yang akan diolahnya menjadi makanan lezat tiada tara?” bisik nurani Bujang ditengah kegelisahan dan nestapa yang dirasanya.

Tapi Bujang bukanlah Bujang walaupun umurnya lebih paruh baya semangatnya tetap menyala seperti seorang anak bujang (muda). “Aku harus mengubah keadaan” bathinnya. Dia mulai mengutak-atik kepintarannya memasak. Ternyata benar air tuturan atap tak akan turun kemana-mana pasti akan berkumpul dipelimpahannya juga, kehebatan seni memasak bapak ternyata menyusup ke pori-porinya. Setiap masakan yang dihidangkan ke anak istri dan para cucu pasti akan membuat mereka mengacungkan jempol dan bersorak ”Ehhhm lezaaat...maknyus”. Akhirnya sobat-sobatnya sering diajak serta datang mencicipi masakannya. Ocehan yang sama pasti tajam terdengar ditelinganya, menyebabkan cuping hidungnya melebar, dan pipinya kemerahan sumringah atas sanjungan mereka. Olahan sayur lama seperti kemumur , pucuk parancis atau jariang sekalipun sulit diterka penikmatnya terbuat dari daging atau sayurkah olahan itu.

Dengan tekad baja dan niat membara dia akan mempersembahkan kelezatan masakannya ke seluruh pelosok negeri para bedebah. Masakannya akan mengalahkan ketenaran masakan dan bumbu instan yang mengusai lidah peduduk negerinya, yang menyebabkan penyakit lupa dan amnesia menggejala dimana-mana. Dia akan memberikan makanannya secara cuma-cuma kepada para penderita busung lapar dan penduduk yang terpaksa memakan nasi aking tanpa lauk. Dia akan menjadi juru masak handal dan sangat terkenal. Dia yakin dipanggil raja-raja di negeri tetangga dan mereka akan rela membayarnya dengan harga sangat mahal membubung ke udara. Para bedebah di negerinya sendiri baru boleh mencicipi kelezatan makanannya bila mereka berani membayar bait-bait puisi yang telah disusunnya dan masakan yang akan dihidangkannya setara dengan biaya makan sepuluh ribu rakyat miskin yang ada. Begitulah tekad dicanangkan Bujang dihatinya yang bergelora.

Langkah pertamanya dimulai dengan rencana pulang kampung meminta restu ibunda dan niat mencium keriput pipi bapak yang telah ditinggalnya sejak dia berusia belia. Dan dia akan membisikkan kata-kata “aku bangga padamu Bapak karena telah menurunkan keahlian memasakmu padaku, maafkanlah aku anakmu yang durhaka ini ”.

Sekian dongeng pelipur lara di senja Minggu temaram indah. Teriring salam hormat kepada teman maya yang status-status FaceBooknya telah menginspirasikan saya menulis ini kisah reka-reka ....^_^.

Tangerang, 16 Mei 2010

Tidak ada komentar: